Mohon tunggu...
Sahyoni
Sahyoni Mohon Tunggu... Pengajar dan Pemerhati Sosial

Rakyat Badarai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dukun: Then and Now

30 September 2025   22:49 Diperbarui: 30 September 2025   22:49 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dukun (Unsplssh.com)

           Praktik "perdukunan" dan turunannya seperti percaya jimat dan orang sakti selalu ada dalam sejarah kehidupan manusia sekarang dan nanti. Siapa saja bisa percaya dukun baik kalangan awam maupun orang terdidik sekalipun. Dahulu pada zaman 80-an dan menjelang 90-an akhir, dukun menjadi profesi yang sangat menjanjikan dalam banyak hal termasuk income dan relasi. Bayaran dukun, pada saat itu lumayan mahal, bisa melebihi UMR pada saat sekarang. Apalagi bisa menyelesaikan kasus yang berat dan kompleks maka bayaran bisa berliat ganda. Ketika musim pemilihan pejabat, baik level desa maupun provinsi tidak jarang tim sukses mencari dukun paling paten seantero negeri. Apalagi kalau bukan meminta "wangsit" atau penerawangan sekaligus untuk membuat lawan politik keok atau tunduk. Tak ayal dukun-dukun yang mempunyai popularitas luar biasa akan mendapat banyak "kunjungan" baik yang berbalut silaturahmi maupun secara terang-terangan mengutarakan maksud. Momen ini tentunya dimanfaatkan oleh dukun untuk mencari "uang rokok" dari mantra dan penerawangan yang dia lakukan. Kalau seandainya pejabat yang dia dukung menang, maka dia akan naik daun sekaligus menjadi tamu penting para pejabat. Pada pelaksanannya, tidak hanya dalam hal politik tetapi dalam olahraga, perjododan dan konflik sosial jasa dukun tetap laris manis.

            Sekitar tahun 90-an, di tempat saya,  pada saat itu pertandingan sepak bola bukan hanya sekedar adu skill pemain, tetapi juga adu spill jual-beli serangan mantra dan ajian-ajian khusus. Setiap kampung yang akan bermain biasanya akan ada seorang pawang, yang selalu diajak. Peran mereka  sebagai tetua kampung sekaligus pawang, membuat ofisial menyertakan mereka dalam list squad tambahan yang peran mereka bisa mengalahkan sang  "The Special One". Tanpa strategi bermain baik itu tiki-taka-nya Barcelona,  atau total football Belanda, tiba-tiba saja bola sudah masuk gawang tanpa terlihat kiper. Biasanya mereka akan berdiri di belakang gawang sambil memperhatikan jalannya pertandingan. Sehingga membuat tim menjadi percaya diri, merasa ada yang menjaga sekaligus ada kekuatan diluar 11 orang pemain. Begitu juga denga urusan perjodohan, banyak yang "menghadap" seseorang yang dikenal mempunyai ilmu pelet jika cinta ditolak atau dihina oleh perempuan yang ia sukai. Percaya atau tidak percaya, beberapa lajang di tanah kelahiran saya mujarab mendapat hati dambaanya. Saya juga masih penasaran dengan cara kerja mantra pelet tersebut. Sampai saat ini. Pun ketika ada dendam pribadi yang tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, maka jalan pintasnya adalah menggunakan jasa dukun. Praktek perdukunan ini secara konsep kerjanya masih eksis sampai zaman serba teknologi pada saat ini.

            Walaupun konsep sama, tetapi secara konteks, pelaku dan pelaksaan sudah berubah total. Sebelum tahun 2000-an kehadiran dukun secara fisik masih masif, tetapi hari ini "roh" mereka saja yang hadir diantara balutan gaun yang serba necis, moderen, dan classy. Tentunya kehadiran mereka memberi dimensi yang berbeda, sehingga banyak yang menganggap ada kekuatan lain yang bisa menolong, mampu mengabulkan keinginan, melapangkan jalan, melindungi jiwa raga bahkan menutup celah lawan. Dalam konteks pilkada, misalnya, dukun suah bergeser dari orang persorangan menjadi organisasi, badan atau lembaga yang mampu memberikan dukungan pada calon tertentu dan menyebar ancaman pada lawan politik. Tim sukses mampu "menerawang" persentasi kemungkinan menang dan memprediksi kelemahan lawan. Tidak hanya itu, ormas atau lembaga tertentu mampu memberikan teror mengerikan kepada lawan politik melebihi ganasnya jin para dukun zaman dahulu. Sehingga yang tersakiti tidak hanya satu orang tetapi bisa jadi anggota keluarga. Selain itu, banyak anak muda sekarang yang mencari kerja mengandalkan dukun revolusi 5.0, yakni kekuatan ordal (orang dalam). Yah, cara kerjanya sama, menutup celah orang lain yang lebih memiliki kompetensi sehingga lapangan permainan menjadi tidak rata. Kurang lebih sama dengan mekanisme kerja pawang hujan, mengalihkan hujan ke tempat lain. Dukun seperti ini tidak bermain melalui media asap kemenyan, kembang tujuh rupa atau pun limau tiga serangkai yang menghadap matahari terbit. Tetapi dengan media elektronik dan kertas. Melalui telepon dari orang yang berpengaruh, yang memiliki jabatan lebih tinggi, kepada staf tempat bekerja. Tidak perlu mantra yang banyak, cukup beberapa patahan kata yang berisi penegasan "keponakan saya, anak teman saya, orang kampung saya, anak pejabat A, timses bapak B, atau family keluarga si Anu" dan masih banyak negasi lain yang lebih cepat mujarab dari busur mantra. Bagaimana kalau ada permasalahan seperti anak tidak naik kelas, kendaraan ditilang, promosi jabatan, masuk sekolah favorit, mau dapat bansos? Masalah yang remeh temeh sekelas anak tidak naik kelas pun masih (sebagian orang) menggunakan jasa dukun. Pada intinya mencari perlindungan sekaligus meminta pertolongan pada kekuatan lain, selain kepada tuhan. Sekali lagi, dukun bertransformasi menjadi pejabat yang punya kuasa, preman lokal, oknum tertentu, atau calo dan joki.   

            Jiwa percaya dukun di negara kita masih sangat dominan. Walaupun secara kasat mata mereka (para dukun) ini sudah mengalami reformasi total, akan tetapi perangai dan orientasi mereka menurut saya masih sama. Lantas apa yang menjadi pupuk sehingga semakin subur praktek perdukunan ini? Barangkali kultur budaya kita ikut andil dalam menyumbang semangat percaya dukun ini. Sejak dahulu rasionalitas, akal sehat, rasa percaya diri, anti feodalisme, berbicara dengan data barangkali tidak banyak diajarkan secara mendalam kepada seluruh anggota masyarakat kita. Sehingga ketika suatu persoalan datang, apalagi yang diluar jangkauan, orang-orang cenderung menyerahkan pada "pihak kedua" yang dianggap mampu menyelesaikan, dukun. Mental kita dikukung oleh tembok feodalisme sehingga kebanyakan lekas percaya dengan seseorang yang mempunyai kekuatan lebih baik secara fisik maupun non fisik. Percaya bahwa orang tertentu mampu menyelesaikan persoalan. Lebih parah lagi pikiran sebagian dari kita gampang "dimodifikasi" untuk kepentingan segelintir orang. Apakah di zaman yang serba ChatGPT sekarang ini bisa mengalahkan hegemony dukun?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun