Di ruang kelas itu, saya tidak memberi nasihat. Saya hanya memberi pelukan.
Di depan saya duduk seorang siswa dengan mata lesu. Ia bukan anak yang malas, hanya lelah menjadi anak yang selalu disalahkan. Hari itu saya tidak memberinya ceramah. Saya hanya duduk, mendengarkan, dan berkata:
"Boleh Ibu peluk?"
Dan sesuatu berubah. Bukan hanya di dalam dirinya, tapi juga dalam cara saya memandang peran seorang guru.
Lebih dari sekadar mengajar, saya ingin menyentuh jiwa.
Sebagai guru, saya percaya bahwa pembelajaran yang bermakna tidak hanya terjadi di otak, tapi juga di hati. Kita sering terjebak dalam rutinitas: menyampaikan materi, mengejar target kurikulum, dan memberi tugas. Tapi bagaimana dengan dunia batin anak-anak kita?
Anak-anak tidak hanya butuh pengetahuan. Mereka butuh dipahami. Mereka butuh ruang untuk merasa aman, didengar, dan diterima.
Lalu saya memulai sesuatu yang sederhana namun dalam: DEWI SARTIKA.
Saya merancang sebuah program praktik baik bernama DEWI SARTIKA --- singkatan dari Dialog Empati dan Wawasan untuk Introspeksi Serta Aktivitas Relaksasi dan Transformasi Inspiratif Kepemimpinan Anak. Program ini memadukan prinsip komunikasi sadar, teknik hypnomotivasi, dan aktivitas reflektif di kelas.
Beberapa bentuk kegiatannya:
- Dialog empatik sebelum pelajaran dimulai
- Latihan relaksasi ringan untuk meredakan stres
- Jurnal harian untuk membangun kesadaran emosi anak
- Afirmasi positif untuk memperkuat rasa percaya diri dan disiplin
Dampaknya terasa. Anak-anak berubah. Saya juga berubah.
Salah satu siswa menulis dalam jurnal refleksi:
"Saya tidak takut lagi ke sekolah. Ibu guru sekarang seperti cahaya yang bikin hati saya hangat."