Dunia pendidikan dasar kini berada di
titik perubahan besar. Anak-anak sekolah dasar tumbuh di era di mana tablet, laptop, dan internet menjadi bagian dari keseharian mereka. Teknologi bukan lagi sekadar hiburan, tetapi telah menjadi jembatan pembelajaran yang menarik, interaktif, dan penuh kreativitas. Kemendikbudristek (2023) menegaskan pentingnya keterampilan abad ke-21 --- berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif --- yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran digital. Di berbagai sekolah, penggunaan aplikasi seperti Wordwall, Kahoot, atau Scratch Junior memungkinkan siswa belajar sambil bermain. Misalnya, mereka bisa membuat animasi tentang siklus air atau menulis cerita digital berdasarkan pengalaman pribadi. Cara ini menumbuhkan minat belajar dan rasa percaya diri siswa. Guru memegang peran penting dalam perubahan ini. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, tugas pendidik adalah "menuntun tumbuhnya kodrat anak." Di era digital, peran menuntun itu berarti membantu siswa menggunakan teknologi dengan
bijak dan produktif. Guru bukan
lagi satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan
fasilitator yang memantik rasa
ingin tahu. Seorang guru yang
kreatif dapat meminta siswa
membuat vlog edukatif, komik
digital, atau presentasi interaktif
--- kegiatan yang menyatukan
literasi, komunikasi, dan keterampilan
teknologi secara menyenangkan.
Namun, kemajuan ini tak lepas dari
tantangan. Masih ada kesenjangan akses teknologi di beberapa daerah. Tidak semua siswa memiliki perangkat atau jaringan internet memadai. Selain itu, ancaman distraksi dari gim daring dan media sosial juga menjadi perhatian. Karena itu, pembelajaran digital perlu diimbangi dengan aktivitas non-digital yang menumbuhkan empati, kerja sama, dan nilai karakter. Pendekatan blended learning --- kombinasi pembelajaran daring dan tatap muka --- menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pembentukan kepribadian siswa. Orang tua pun berperan besar dalam
pendampingan. Literasi digital
bukan hanya tentang kemampuan
teknis, tetapi juga pemahaman
etika dan keamanan di dunia
maya. Kominfo (2023)
menekankan pentingnya tiga pilar
literasi digital: etika, keamanan, dan budaya digital. Dengan pendampingan yang tepat, anak-anak dapat menggunakan teknologi sebagai sarana belajar, bukan sekadar hiburan.
Tentu, Teknologi seharusnya memperkuat sentuhan manusiawi dalam pendidikan, bukan menggantikannya. Guru dan
orang tua tetap menjadi fondasi utama dalam membentuk karakter anak. Ketika digunakan secara bijak, tablet di tangan anak SD bukan sekadar alat elektronik --- ia menjadi jendela
yang membuka imajinasi dan menyalakan ide-ide baru. Sebagaimana kata Alvin Toffler, "Buta
huruf abad ke-21 bukan mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, melainkan mereka yang tidak bisa belajar, melupakan, dan belajar
kembali." Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan di era digital harus menumbuhkan kemampuan beradaptasi dan semangat belajar seumur hidup. Anak-anak SD
Indonesia sedang tumbuh dalam dunia yang berubah cepat. Tantangan memang ada, tetapi dengan guru yang inovatif, orang tua yang mendampingi, dan sekolah yang berani berinovasi, teknologi bisa menjadi alat untuk
membentuk generasi pembelajar kreatif.
Mahasiswa PGSD
Universitas Ngudi Waluyo, Ungaran
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI