Mohon tunggu...
Laila Saffanah
Laila Saffanah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hati Seorang Perempuan

22 November 2019   06:58 Diperbarui: 22 November 2019   07:02 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Perempuan bermata coklat pekat itu duduk seorang sendiri di ruang kelas yang sepi, menatap ke arah jendela sambil sesekali mengecek ponselnya yang ia genggam sejak tadi. Rintik hujan yang tak kunjung reda membentuk garis-garis abstrak di kaca jendela yang terus ia pandangi. Kini, hatinya dipenuhi rasa sedih yang tak jua bertepi. Tak terasa air matanya pun mengalir di pipi.

"Saf?" dalam sekejap suara itu memecahkan kesunyian ruang kelas yang ia tempati, ia menoleh ke arah pintu besi. Di sana, berdiri seorang lelaki yang tengah menghampiri. "Iya?" jawab Saffa sembari memalingkan wajah sejenak dan mengusap pelan tetes air matanya yang baru saja ia sadari.

Hujan semakin deras mengguyur setiap helai daun yang bergoyang-goyang tertiup angin kesana-kemari, membuatnya tak bisa berkutik dari ruang bersuhu dingin yang ia singgahi. Aldo beranjak duduk di sampingnya menemani kesendirian yang ia ratapi. Begitulah Aldo, seringkali Saffa dibuat bingung dengan tingkah lakunya yang menarik hati. Sore itu, mereka terjebak dalam keheningan suasana sendu yang menyelimuti.

Setibanya di asrama, Saffa langsung menuju tempat tidurnya dan merebahkan diri sambil menatap langit-langit kamar merenungi segala isi hati. 

"Drrtt...drrttt..." getaran bunyi telepon masuk di ponselnya menggoyahkan bayang-bayang ilusi. Saffa menatap nama Alvaraldo di layar ponsel yang tak henti-hentinya menghubungi, hanya menatap saja tapi. Ia letakkan kembali ponsel itu ke meja belajarnya yang terdapat bingkai-bingkai berisi foto penuh memori.

Ia kembali sedih saat memegang bingkai foto yang ia pandangi, ditatapnya sepasang mata yang berbinar dengan senyuman tulus seorang perempuan berparas cantik bagai bidadari. Lagi dan lagi air matanya mengalir membasahi pipi. Ia teringat betapa hancurnya perasaan kala itu menyeruak ke dalam lubuk hati. Seolah tanda tak terima, pikirannya dikacaui pertanyaan-pertanyaan sengit , "Mengapa hal itu harus terjadi? Mengapa harus secepat itu ia kembali ke pangkuan Ilahi?"

"Kriiingggg..." bunyi alarm yang begitu memekakkan telinga membangunkannya di esok hari. Semalam ia tertidur pulas sambil memegangi bingkai foto yang sebelumnya ia tatapi hingga terjatuh ke karpet berbulu putih bersih. Saffa bergegas ke kamar mandi, berdandan rapi lalu bersiap-siap menyalakan mesin motornya  melaju ke arah gedung-gedung bertingkat tinggi dengan perpaduan warna khas hijau tua dan kuning yang setiap hari Senin sampai Jumat ia datangi.

"Pagi Saffaaaa..." sapaan itu terdengar jelas di telinganya saat ia melewati area parkir. Aldo, seperti biasa memanggil namanya tanpa tujuan yang jelas saat Saffa melintas di dekatnya. Saffa berjalan dengan santai menuju koridor taman fakultas yang dipenuhi para mahasiswa dan mahasiswi sedang berorasi. 

Tiba-tiba saja ia berhenti saat melihat Aldo yang tengah berdiri di samping pintu ruang kelas dekat lobi. Saffa membalikkan badan dan langsung bergegas menuju kamar mandi, pikirannya berkecamuk diliputi rasa risih dengan harapan ketika ia kembali Aldo sudah tidak berada di samping pintu itu lagi.

Suasana gaduh di kelas membuat Saffa tidak dapat berkonsentrasi, terlebih lagi tingkah laku Aldo yang semakin hari semakin membuatnya terintimidasi. Aldo terus mengamati Saffa dari kejauhan sambil sesekali tertawa keras dengan teman-teman sefrekuensinya itu di pojok ruang kelas saat ini. Saffa berusaha bersikap tak peduli dengan segala rasa khawatir yang meliputi hati. Ia segera mengencangkan volume musik yang sedari tadi diputar untuk menghibur diri.

"Saffa, foto bareng boleh nggaak?" Tanpa disadari Aldo yang sudah berada di sebelahnya dengan wajah sumringah sontak membuat ia terkejut. Saffa bingung sekaligus canggung, namun hanya kata-kata "Nggak boleh!" yang terlontar dari mulutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun