Lengger lanang Banyumas tidaklah surut sepeninggal eyang panutannya, lengger lanang Dariah kelahiran Dusun Plana Desa Somakaton Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas yang telah tiada. Kakek berusia 97 tahun yang telah mendapatkan penghargaan maestro seni tradisional" dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2011 itu, telah meninggalkan jejak kemahsyuran travesti Tlatah Penginyongan yang melegenda.
Pigeud dalam buku Javans Volksvertoningen, mengisahkan adanya tradisi travesti di Banyumas. Travesti adalah seni pertunjukan tari yang dimainkan oleh  laki-laki yang berlaku kewanita-wanitaan, seorang laki-laki yang senang berdandan dan bersolek menarikan tarian yang bisa ditarikan seorang perempuan.
Begitulah Dariah yang terlahir sebagai laki-laki dengan nama Sadam memerankan bentuk travesti sampai akhir hayatnya. Sejak kecil, ia memilih melakoni hidupnya menjadi perempuan untuk  menarikan lengger lanang tarian kuno khas budaya Banyumas. Dedikasinya di dunia seni tradisional tak tergantikan, kesetiaanya  menari lengger dari satu panggung ke panggung lain sampai akhir hayat meninggalkan jejak sejarah totalitas pengabdian di dunia seni tari kepada  anak cucunya para lengger lanang generasi penerusnya.
Kini  darah segar muda telah melalang dunia membawakan tari lengger lanang. Dialah Otniel Tasman, pemuda kelahiran Kedunguter Banyumas, 25 Januari 1989 anak seorang ibu single parent dengan empat anak dari keluarga Kristiani di desa Kedunguter RT2/RW 1 yang menginginkan anak lelakinya jadi seorang pastur malah menjadi penari lengger lanang.
Oniet, panggilannya sudah mengenal tari sejak kelas tiga SD dan berhasil menjadi juara joget dangdut agustuasan di desanya. Kelas empat mulai belajar tari Jawa klasik dan memenangi lomba tari gagahan tingkat kecamatan. Setamat SMP ia hendak melanjutkan ke jurusan tari SMKI Sendhang Mas Banyumas, tapi dilarang ibunya. Maklum SMKI swasta itu masih gurem, muridnya sedikit, ibunya khawatir akan masa depannya.
Ternyata lewat sekolah tari di SMKI Sendhang Mas, bakat tarinya makin berkembang dan ia selalu dapat order job menjadi cucuk lampah pada hajatan pengantin dari satu kampung ke kampung lainnya, lumayan dapat rejeki untuk membatu ibu. Bahkan dapat "peye" untuk menari di Jakarta dalam rangka Hari Baca Buku Sedunia.
Setamat SMKI Sendhang Mas, kini SMKN 3 Banyumas, Oniet melanjutkan ke ISI Surakarta. Semasa kuliah di ISI ia berkenalan dengan seseorang yang akan menentukan perjalanan karier tarinya kelak.
Di Wisma Seni Taman Budaya Surakarta, dalam acara Festival Kesenian Rakyat 2011, kali pertama ia bertatap mata dengan Dariah. Sosok yang agaknya, bagi Otniel, mewarisi sebuah persona untuk kerinduan manusia modern akan mitos, kharismatik.
Dalam pengakuannya kepada temannya Halim Bahriz yang saya kutip dari tulisannya, Oniet sangat kagum pada Mbah Dariah. Lima tahun kemudian Oniet baru berani mewawancarainya, "Mbah, kamu ini sebenarnya laki-laki apa perempuan?" ujarnya. Spontan, dengan raut wajah yang mendadak tegang, sosok lengger lanang tersebut mengutarakan jawaban mengejutkan, "Wani piro?". Sejak percakapan inilah, "inyong", ia yakini sebagai "indhang" bagi karya-karya koreografinya. Di atas panggung, tubuh-tubuh yang ditampilkannya seakan-akan berkata, "Inyong siki indhange Mbok Dariah!"
Titisan Mbah Dariah ini perjalanan karier tarinya memang oke. Pertama kali Oniet menari lengger lanang adalah ketika ada acara tujuhbelasan di desanya tahun 2016, begitu diceritakan pengalamannya pada  Halim Bahriz, "Yang membuat saya deg-degan, ekspresi mereka ketika menonton saya yang berdandan perempuan. Dan yang paling spesial, saya menari di hadapan ibu dan keluarga."
Karya tari pertamanya sebagai koreografer adalah tari lengger Mbarangan. Ketika itu tanpa sengaja ia bertemu dengan rombongan lengger dari Banyumas yang mbarang (ngamen) di Ancol Jakarta. Dalam proses penciptaan tari ini sampai dilakoni mbarang di Malioboro Yogyakarta dan ditampilkan di Teater Kecil ISI Surakarta. Karya ini sekaligus sebagai tugas akhir saat kuliah di ISI.