Dalam kajian ilmu ekonomi kontemporer, munculnya paradigma baru seringkali merupakan respons terhadap dinamika kapitalisme global yang terus berubah. Salah satu istilah yang muncul dalam wacana kritis terhadap ekonomi neoliberal adalah "Serakahnomics" suatu istilah yang tidak berasal dari literatur ekonomi formal, tetapi sarat dengan makna kritik terhadap praktik ekonomi yang didasarkan pada kerakusan, akumulasi kapital tak terbatas, serta marginalisasi terhadap nilai-nilai sosial dan keadilan.
Istilah ini secara satiris menggabungkan kata "serakah" dan "economics" untuk menunjukkan model ekonomi yang bertumpu pada kepentingan elite ekonomi-politik, yang menjadikan eksploitasi sebagai mekanisme dasar pertumbuhan.
Meskipun tidak termuat dalam ensiklopedia ekonomi, Serakahnomics mencerminkan sebuah madzhab ekonomi de facto yang dapat ditemukan dalam kebijakan-kebijakan publik di berbagai negara, termasuk Indonesia, terutama dalam era globalisasi dan liberalisasi ekonomi pasca-1980-an.
Madzhab Ekonomi Serakahnomics dapat dipahami sebagai model atau pendekatan ekonomi yang mendorong pertumbuhan dengan mengabaikan aspek pemerataan, kesejahteraan sosial, serta kelestarian lingkungan.
Dalam logika Serakahnomics, tujuan utama kebijakan ekonomi adalah ekspansi akumulasi modal, konsolidasi kekayaan oleh kelompok oligarki, serta penciptaan ruang ekonomi yang sangat terbuka bagi korporasi besar, baik nasional maupun transnasional.
Oleh karena itu, Serakahnomics adalah produk langsung dari neoliberalisme yang dibumbui kerakusan struktural, dimana negara menjadi fasilitator utama dari penghisapan sumber daya oleh elite, bukan pelindung kepentingan publik.
Dalam paradigma ini, pasar dianggap sebagai entitas paling rasional, sementara intervensi negara dalam rangka keadilan distributif dianggap distorsif dan kontra-produktif.
Secara historis, munculnya pendekatan semacam Serakahnomic dapat dilacak ke masa konsensus Washington, ketika lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia memaksakan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan pada negara-negara berkembang.
Indonesia tidak terkecuali, setelah krisis moneter 1997--1998, paket-paket kebijakan reformasi struktural yang diterapkan di Indonesia semakin menjauhkan negara dari fungsi sosial-ekonominya.
Dalam konteks ini, negara lebih banyak berperan sebagai penyedia insentif bagi investor dan korporasi, ketimbang sebagai pengatur pasar demi keadilan sosial. Di sinilah Serakahnomics mulai mengambil bentuk sebagai praktik ekonomi yang memprioritaskan elite bisnis dan pejabat politik berkolusi.