Ketakutan akan pecahnya Perang Dunia Ketiga telah menjadi diskursus global yang terus hidup sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua pada 1945. Munculnya ketegangan geopolitik, perang dagang, perlombaan senjata, dan konflik regional berskala besar memunculkan narasi bahwa dunia berada di ambang perang global. Namun demikian, apakah ancaman tersebut benar-benar mencerminkan realitas objektif, ataukah ia lebih merupakan konstruksi ketakutan yang dibentuk oleh media, aktor politik, dan dinamika global yang kompleks?
Pertanyaan ini semakin relevan di tengah meningkatnya konflik di Ukraina, konflik Israel dan Iran, konflik India dan Pakistan, ketegangan antara NATO dan Rusia, ketegangan di Laut China Selatan, serta perlombaan senjata antara Amerika Serikat, China, dan Rusia. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis dengan kritis apakah potensi Perang Dunia Ketiga merupakan realita atau sekadar ilusi ketakutan global.
Ketegangan global saat ini tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa kekuatan besar dunia tengah terlibat dalam rivalitas strategis yang intens. Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, NATO dan negara-negara Barat kembali menunjukkan sikap konfrontatif terhadap Moskow secara tidak langsung dengan mendanai dan menyumbang alutsista perang ke Ukraina dalam jumlah besar. Amerika Serikat menempati posisi teratas dengan total kontribusi militer mencapai sekitar USD 66,5 miliar sejak awal invasi, termasuk pengiriman sistem pertahanan canggih seperti HIMARS, rudal Patriot, tank Abrams, drone MQ-9 Reaper, dan rudah ATACMS.
Inggris menyusul sebagai donatur terbesar kedua dengan total bantuan militer mencapai 7,8 miliar, termasuk suplai rudal Storm Shadow, tank Challenger 2, serta sistem pertahanan udara jarak menengah. Jerman juga memainkan peran penting dengan memberikan bantuan militer senilai lebih dari 5,4 miliar, termasuk pengiriman sistem pertahanan IRIS-T, tank Leopard 2, dan amunisi kaliber besar. Negara-negara lain seperti Polandia, Prancis, Kanada, Belanda, dan negara-negara Nordik turut menyumbang dalam skala besar maupun sedang, baik dalam bentuk material militer maupun dukungan teknis.
Kemudian, sejak akhir April 2025, ketegangan antara India dan Pakistan meningkat tajam setelah serangan teror di Pahalgam, wilayah Kashmir yang dikendalikan India, menewaskan puluhan warga sipil. India menuding kelompok militan yang diyakini mendapat dukungan dari Pakistan berada di balik insiden tersebut, sehingga meluncurkan serangkaian langkah tegas seperti penghentian perjanjian air Indus Waters Treaty, penutupan Kedutaan Pakistan, serta peluncuran operasi militer "Operation Sindoor" di awal Mei 2025.
Selama operasi ini, jet tempur India menyerang sembilan lokasi yang dianggap basis militan dengan rudal presisi menggunakan Rafale dan SCALP. Pakistan menanggapi dengan menutup ruang udara dan membalas serangan tersebut melalui misil, drone, dan artileri memicu bentrokan lintas perbatasan, kerusakan besar, serta ratusan korban sipil dan militer sebelum gencatan senjata dimediasi AS mulai 10 Mei.
Meskipun konflik ini terhenti setelah empat hari pertempuran intensitas tinggi, ketegangan tetap sangat rapuh. Kedua belah pihak mempertahankan kehadiran militer yang besar di sepanjang Line of Control, sementara keputusan untuk menggantungkan penggunaan perjanjian nuklir dan air hingga keterlibatan aliansi global menunjukkan betapa mudahnya konflik lokal tapi bersenjata nuklir ini bisa berubah menjadi bencana lintas-benua.
Terbaru, ketegangan antara Israel dan Iran mencapai puncak baru ketika Israel melancarkan Operasi Rising Lion, serangan udaranya pada 13 Juni menarget fasilitas nuklir penting di Natanz dan Fordow, kilang minyak, Â menewaskan ratusan warga sipil, ahli nuklir, dan puluhan komandan tinggi IRGC termasuk Hossein Salami dan Amir Ali Hajizadeh. Iran segera membalas dengan peluncuran rudal balistik dan ratusan drone, menyerang kota-kota Israel seperti TelAviv dan Haifa, menyebabkan kerusakan infrastruktur, fasilitas militer, serta menciptakan kepanikan massal dan exodus.
Di sisi lain, konflik Laut China Selatan dan ancaman terhadap Taiwan menimbulkan ketegangan baru antara China dan Amerika Serikat. Latihan militer bersama di kawasan Indo-Pasifik, penempatan senjata strategis, serta peningkatan militerisasi pulau-pulau sengketa menjadi indikator eskalasi konflik. Namun demikian, semua pihak sejauh ini masih menahan diri dari konfrontasi langsung berskala global. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ketegangan nyata terjadi, namun kalkulasi politik dan ekonomi global cenderung menghindari pecahnya perang dunia terbuka.
Salah satu alasan utama mengapa Perang Dunia Ketiga belum terjadi adalah keberadaan senjata nuklir dan konsep deterrence atau pencegahan. Sejak masa Perang Dingin, doktrin Mutually Assured Destruction (MAD) telah menjadi dasar keamanan strategis dunia, di mana setiap serangan nuklir oleh satu negara akan dibalas dengan serangan balasan yang sama dahsyatnya. Konsekuensi destruktif dari senjata nuklir membuat negara-negara adidaya berpikir ulang sebelum terlibat dalam perang langsung.