Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Sejarah Dunia yang Disembunyikan (4): Islam dan Puncak Evolusi Kesadaran

17 Maret 2023   18:25 Diperbarui: 17 Maret 2023   18:40 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: pixabay.com


Satu hal yang patut kita renungkan, pengajaran kuno mengajak kita merenungi bahwa evolusi bukanlah seperti Darwinian yang biologis, tetapi lebih kepada aspek spiritual. Kehidupan kosmos dari fase mineral ke tumbuhan ke hewan, yang mengalami evolusi adalah kesadaran.

Namun, jika sejarah versi pengajaran kuno adalah versi yang benar, tebuka, terlengkap, sementara versi yang lain banyak menyembunyikan kebenaran, maka dengan standar apa kita akan mengukur kebenaran itu? Apakah dengan cara mengakui tanda-tanda yang diajukan oleh pengajaran kuno, bahwa tanda-tanda itu ada di dalam kitab suci?

Misalnya dalam Alkitab pada Kitab Kejadian 6 ayat 1 - 5 tentang makhluk langit yang merendahkan diri menyukai anak-anak perempuan manusia. Atau Yesaya 14 ayat 12 tentang kejatuhan "putra sang fajar", yang dalam pandangan pengajaran kuno adalah venus, ada yang mengatakan bahwa putra sang fajar adalah Lucifer.

Atau mengatakan Jibril adalah malaikat bulan, perenung, lalu Allah (Tuhannya orang Islam) adalah dewa bulan, hingga berandai-andai mengatakan sebab itulah dasar pelaksanaan ajaran Islam berdasarkan pergerakan bulan, dan simbol Islam sendiri adalah bulan (sabit) dan bintang?


Atau barangkali kita akan ikut-ikut membenarkan bahwa planet-planet di masa lalu adalah person, seperti manusia, yang berperang, melindungi, berhasrat untuk menguasai dunia, membentuk tatanan dunia yang dipenuhi kegelapan, sedang sisi sebaliknya ada yang berperan sebagai protagonis?

Begitu juga dengan tokoh-tokoh yang hidup dalam sejarah, yang ditampilkan sebagai dewa-dewa dan iblis itu. Apakah Henokh, ataukah Idris, ataukah Hermes; Apakah Nuh, ataukah Dionysos, ataukah Utnapisthim, ataukah Ziusudra? Begitu juga dengan makhluk manusia berkepala ikan, apakah ia Horus ataukah Oannes?--mana yang benar?

Inkonsistensi semacam ini membuat kita mencurigai kebenarannya. Terutama terhadap planet-planet yang digambarkan sebagai person: Bumi adalah Dewi, Matahari pelingdungnya, dari kejahatan Saturnus yang dalam hal ini mewakili kekuatan jahat; setan. Seandainya benar person-person itu dulunya menjalankan peran seperti yang digambarkan, tentu akan rusak bagaimanakah tata surya kita semenjak dulu?

Namun, ketimbang mencari apa yang benar dari versi-versi itu, lebih mungkin bagi kita mencermati jalannya sejarah yang dimaksud. Jika pengajaran kuno memaksudkan evolusi makhluk kosmos adalah bergerak ke semakin tingginya kesadaran, yang cirinya adalah pikiran, maka evolusi paling puncak berada pada zaman Islam, yang dalam buku Jonathan Black ditaruh di bab 17--bukan pada bab terakhir.

Mula-mula orang Islam akan membantah jika tuhannya, Allah adalah dewa bulan. Kita bisa mencermati hal itu misalnya dalam kisah Ibrahim (salah seorang nabi Islam) yang mengingkari tuhan-tuhan terbit dan tenggelam. Islam akan selalu mengingkari tuhan-tuhan yang dapat dibayangkan (apalagi dilihat). Laa ilaaha illallah bermakna tidak ada Allah selain Allah itu sendiri, yang maha besar, yang tak dapat terlukiskan. Setiap apa yang dapat dipikirkan adalah Makhluk-Nya.

Namun keberadaan-Nya dapat diketahui melalui informasi dari Nabi, melalui Jibril. Untuk meyakinkan bahwa informasi itu benar, maka sumber yang memuat informasi itu dilengkapi dengan isyarat-isyarat yang dapat dibuktikan, baik secara seni dan sastra maupun secara ilmu pengetahuan. Sumber itu adalah Al-Qur'an. Kitab yang mukjizatnya adalah ajakan berpikir rasional, pembuktian rasional, dan melawan sistem kebodohan (jahiliah).

Jadi, sebiji bulan terlalu kecil untuk Tuhannya orang Islam. Jika asumsinya adalah bulan merupakan dasar peribadatan, olehnya di simpulkan demikian, maka penulis sejarah itu perlu tahu bahwa pada waktu pagi, siang, dan sore peribadatan Islam juga menghitung pergerakan matahari. Puasa pun dilakukan di siang hari, di mana umumnya bulan hanya akan tampak pada malam hari.

Islam, melalui Al-Qur'an maupun hadis tidak memiliki gambaran atas benda-benda langit yang dijadikan person dewa-dewa tertentu. Juga tidak ada secara eksplisit disebutkan tentang tokoh (walau sekadar gambaran) semisal Zeus, Horus, Isis, Osiris, Poseidon, Minotaur, dan lain-lain sebagainya. Al-Qur'an hanya mengajukan tokoh semisal yang umum: jin atau setan atau iblis, yang semuanya tercipta dari api. Mereka membawa sifat panas, gampang tersulut emosi, membawa nafsu yang membara, menggebu-gebu.

Dewa-dewa yang berperang dengan kelompok Titans misalnya, mungkin dimaksudkan bahwa sejarah berjalan dalam pertentangan antara baik dan jahat, benar dan salah. Selanjutnya maka wajar ada yang menyembah dewa-dewa yang baik, dan adapula menjadi pengikut-pengikut setan di sisi sebaliknya. Setiap panutan dijagokan, diidolakan, dan diidealkan.

Kita bisa meraba aspek apa yang menjadi unggulan dewa-dewa itu. Antara lain kekuatannya untuk berperang; immortality, umumnya punya nyawa yang banyak, jika satu dibunuh, nyawa yang lain masih bisa menghidupkannya--salah satunya yang terinspirasi adalah Gilgamesh, ia mencari keberadaan Dionysos (Nuh), karena hanya orang itu yang tahu di mana kembang keabadian yang serupa mawar ditanam.

Hanya zaman Islam, yakni melalui sosok Muhammad, yang digambarkan oleh Jonathan Black menyatakan penolakan terhadap dewa-dewa beserta simbolnya. Ajaran Muhammad lebih merupakan kesinambungan dari Abraham di zaman Tower Babilonia, yang memerangi perilaku Nimrod yang korup, tamak, dan menindas rakyat kecil.

Gambaran ajaran Islam ala Jonathan lebih dominan ke efek puasa; dengan menekan hawa nafsu, kesadaran akan terbentuk, dan pikiran semakin jernih. Dalam terang Jonathan, "Dorongan seksual harus ditekan, agar kemampuan manusia untuk berpikir bisa berkembang." Maka dalam ajaran Islam, tidak ada narasi pengagungan terhadap makhluk, betapapun saktinya, betapapun kuasanya. Orang Islam selalu diperingatkan, semua atas kehendak Allah. Mukjizat Nabi ataukah kesaktian lawan-lawannya, semua atas izin Allah.

Juga soal seksualitas, tidak seperti pengajaran kuno atau teks-teks sakral yang lain, di mana cinta, tubuh, dan seksualitas cenderung dibahasakan secara langsung meski dengan gaya bersastra. Di dalam teks Al-Qur'an, tidak akan ditemukan bahasa-bahasa seperti itu. Bahkan pedoman untuk bereproduksi dibahasakan dalam bentuk kiasan dengan sangat hati-hati.

Kita bisa melihat hal seperti ini pada acara dialog tentang erotika dalam teks agama, yang menghadirkan Kiai Moqsith Ghazali sebagai salah satu pembicara yang membahas teks erotis dalam Islam. Ia mengatakan baik teks Al-Qur'an maupun hadis, tidak akan ditemukan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) persenggamaan.

Al-Qur'an memilih kata "ladang" untuk mengibaratkan peran istri dalam proses regenerasi. Ulama termasuk Kiai Moqsith kerap menyambung itu dengan kata "bercocok tanam". Di mana yang dibolehkan hanya tempat yang memungkinkan terjadinya pembuahan, tidak  diperbolehkan terhadap ladang yang gersang.

Demikianlah kehalusan dan kesopanan, yang di kemudian hari dijadikan salah satu indikator orang beradab, sudah ditekankan Islam sejak awal kemunculannya. Dalam segala hal, keberadaban itu kemudian ditinggikan levelnya menjadi akhlak, hal yang menjadi alasan mengapa Muhammad diutus.

Namun akhlak bukanlah tanpa ilmu. Islam kemudian bangkit dengan peradaban keilmuannya, yang pada akhirnya (terlepas diklaim atau tidak) Islamlah yang menginspirasi kebangkitan ilmu pengetahuan di barat. Islam sangat akrab dengan ilmu, ada banyak pemuka-pemukanya yang meninggalkan kitab-kitab, dan tak main-main, belum ada di dunia manapun yang menyaingi aspek keilmiahan para ulama Islam dalam hal kutip mengutip pendapat. Footnote sumber rujukan yang kuat selalu menjadi ciri yang melekat pada Kitab-kitab mereka.

Akrabnya Islam dengan ilmu sebab zaman Islam--meminjam Istilah Dr. Raghib Al-Sirjani--bukan lagi zaman keajaiban yang berakhir di zaman Abrahah. Tapi zaman tindakan, yang mengharuskan manusia berpikir. Anehnya, Islam kemudian tidak menjadi pragmatis dan materialistis, lantaran mengandalkan akal.

Islam tetap menjunjung tinggi sakralitas, hal-hal gaib, sebagai dunia yang hadir mendahului materi, dan akan kembali ke dunia itu ketika segala materi berakhir. Berangkat dari pengenalan terhadap diri sendiri--yang menjadi pembeda terhadap tokoh-tokoh pengajaran kuno tanpa konsep pengenalan terhadap diri--manusia dalam Islam membedakan yang jasad dan yang ruh dan wilayahnya masing-masing.

Inilah puncak kesadaran, yaitu ketika seorang manusia menyadari siapa dirinya, zatnya, dan hubungannya dengan yang lain. Ia dan alam tempatnya tinggal berasal dari sesuatu, dan akan kembali pada asalnya (innalillahi wainna ilaihi rojiun). Tidak seperti makhluk sakti dalam pengajaran kuno, serta mereka yang ingin dirinya menguasai dunia karena ajaran itu.

Mereka lupa bahwa mereka akan mati, dan tidak ada pengetahuan bagi mereka tentang dunia pascamateri, kecuali sedikit.

***

Judul asli: The Secret History of The World
Judul Terjemahan: Sejarah Dunia yang Disembunyikan
Penulis: Jonathan Black
Penerjemah: Isma B. Soekato dan Adi Toha
Penerbit: Alvabet
Tahun: Cet. I, 2015
Tebal: 636 halaman
ISBN: 978-602-9193-67-1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun