Mohon tunggu...
Saeful Apriliyanto
Saeful Apriliyanto Mohon Tunggu... Tukang Tidur Profesional

Live Forever

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ritme Stadion: The Stone Roses dan Identitas Kolektif Suporter

23 September 2025   10:33 Diperbarui: 23 September 2025   10:52 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepak bola tidak hanya sebuah permainan olahraga, melainkan juga fenomena sosial yang merangkum identitas, budaya, dan ekspresi kolektif masyarakat. Stadion bukan sekadar ruang kompetisi olahraga, tetapi juga arena simbolik di mana berbagai bentuk ekspresi budaya populer bertemu dan membentuk identitas kolektif. Salah satu ekspresi budaya yang kerap hadir dalam ruang stadion adalah musik. Dari nyanyian bersama, chants, hingga lagu-lagu yang diputar sebelum pertandingan, musik selalu memiliki peran dalam menciptakan atmosfer unik di stadion.

Di Inggris, musik dan sepak bola memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Kota-kota yang melahirkan klub sepak bola besar seringkali juga melahirkan band-band ikonik yang mempengaruhi budaya global. Manchester adalah contoh paling nyata: selain menjadi rumah bagi klub-klub seperti Manchester United dan Manchester City, kota ini juga melahirkan band legendaris seperti The Stone Roses, Joy Division, Oasis, hingga The Smiths. Dari sekian banyak band tersebut, The Stone Roses memiliki ikatan emosional dan simbolik yang kuat dengan kultur stadion, terutama melalui lagu-lagu mereka yang kemudian diasosiasikan dengan identitas suporter.

The Stone Roses menjadi bagian dari ritme stadion, dan bagaimana ia berkontribusi dalam membentuk identitas kolektif suporter sepak bola. Dengan menggunakan kerangka teori identitas kolektif (Stuart Hall), komunitas imajiner (Benedict Anderson), serta teori subkultur (Dick Hebdige), artikel ini akan menunjukkan bahwa musik tidak hanya hadir sebagai hiburan, tetapi juga sebagai simbol solidaritas, resistensi, dan identitas bersama.

Manchester adalah kota yang memiliki sejarah panjang sebagai pusat industri di Inggris. Setelah kemunduran industri tekstil pada 1970–1980-an, kota ini mengalami transformasi sosial dan ekonomi. Situasi urban yang penuh krisis pada masa itu justru melahirkan kreativitas kultural yang luar biasa. Dari sinilah muncul apa yang disebut sebagai Madchester scene, yaitu gelombang musik alternatif yang dipelopori oleh The Stone Roses, Happy Mondays, dan Inspiral Carpets pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an.

The Stone Roses, dengan gaya musik yang memadukan rock, psychedelic, dan dance, berhasil menjadi ikon generasi muda Manchester. Lagu-lagu mereka tidak hanya populer di klub malam, tetapi juga merembes ke stadion-stadion sepak bola. Generasi muda yang menjadi penggemar The Stone Roses sering kali adalah orang-orang yang juga tumbuh dengan kecintaan terhadap sepak bola. Perpaduan antara musik dan sepak bola kemudian menciptakan semacam identitas urban yang khas: anak muda Manchester yang bangga dengan kotanya, dengan musiknya, dan dengan klub sepak bolanya.

Salah satu lagu The Stone Roses yang paling erat dikaitkan dengan stadion adalah “This Is the One”. Lagu ini diputar secara rutin di Old Trafford, markas Manchester United, menjelang pertandingan. Bagi banyak suporter, lagu ini bukan hanya pengiring, melainkan juga penanda emosional yang mengikat mereka dalam satu ikatan kolektif. Suasana sebelum kick-off, ketika ribuan orang menyanyikan atau merasakan atmosfer lagu tersebut, menciptakan pengalaman kebersamaan yang mendalam.

Untuk memahami mengapa musik bisa memiliki peran sedemikian besar dalam stadion, perlu digunakan beberapa kerangka teori.

Pertama, Stuart Hall (1996) menekankan bahwa identitas budaya bukanlah sesuatu yang statis, melainkan hasil dari proses representasi, negosiasi, dan konstruksi sosial. Identitas kolektif suporter terbentuk melalui simbol-simbol yang mereka gunakan—baik itu warna klub, nyanyian, maupun lagu tertentu. Musik The Stone Roses menjadi salah satu simbol representatif yang memungkinkan suporter merasa bagian dari komunitas yang lebih besar.

Kedua, Benedict Anderson (1983) melalui konsep imagined communities menjelaskan bagaimana komunitas besar dapat terbentuk meski anggotanya tidak saling mengenal. Suporter sepak bola adalah contoh nyata: meskipun satu suporter tidak mengenal ribuan orang lain di stadion, mereka merasa sebagai bagian dari satu komunitas karena berbagi simbol yang sama—bendera, spanduk, hingga lagu yang sama. Ketika “This Is the One” dimainkan, suporter di Old Trafford mengalami momen kolektif di mana komunitas imajiner itu menjadi nyata.

Ketiga, teori subkultur Dick Hebdige (1979) membantu memahami bagaimana musik berfungsi sebagai medium resistensi simbolik. The Stone Roses, dengan musik dan gaya mereka, melambangkan semangat perlawanan generasi muda Manchester terhadap otoritas dan mainstream. Ketika musik mereka masuk ke stadion, semangat perlawanan itu berpindah menjadi ekspresi suporter yang kerap menolak otoritas, baik itu federasi sepak bola, manajemen klub, maupun lawan di lapangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun