Di Bandung, dan hampir seluruh wilayah Jawa Barat, nama Persib punya tempat yang sangat spesial di hati masyarakat. Persib bukan cuma klub sepak bola. Ia adalah rasa, identitas, dan bagian dari kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang menyebut Persib, bukan hanya tentang skor atau klasemen, tapi tentang kenangan masa kecil, tentang ayah yang mengajak ke stadion, tentang suara radio di warung kopi, dan tentang kebersamaan yang tak bisa dibeli oleh apa pun.
Sepak Bola: Lebih dari Sekadar Olahraga
Sepak bola adalah olahraga yang sangat populer, itu semua orang tahu. Tapi di balik itu, sepak bola juga bisa menjadi alat pemersatu, sarana ekspresi, bahkan menjadi bagian dari budaya dan cara hidup. Sosiolog kenamaan, Clifford Geertz, pernah mengatakan bahwa budaya adalah pola makna yang dijalani dan diwariskan oleh manusia. Jika kita pakai kacamata ini, mendukung Persib adalah bagian dari budaya warga Sunda. Ia bukan kegiatan iseng atau hiburan semata, tapi ada makna, ada nilai, dan ada warisan di dalamnya.
Bayangkan saja, berapa banyak keluarga di Bandung yang menjadikan Persib sebagai cerita harian? Anak-anak yang sejak kecil sudah memakai jersey biru, mendengar nama-nama pemain legendaris seperti Robby Darwis, Dede Rosadi, atau Atep, dan tumbuh besar dengan lagu “Halo-halo Bandung” versi stadion. Semua ini adalah bagian dari pembentukan identitas, dan itu berlangsung secara alami, bukan diajarkan lewat buku pelajaran.
Persib dan Semangat Perlawanan
Bagi sebagian orang, mencintai Persib adalah bentuk kesetiaan terhadap daerah. Tapi lebih dari itu, bagi banyak pendukung setianyaBobotoh Persib adalah lambang perlawanan. Perlawanan terhadap ketidakadilan, terhadap dominasi klub-klub besar dari ibukota, dan terhadap sistem yang kadang terasa berat sebelah.
Di tahun-tahun awal Liga Indonesia, misalnya, Persib kerap dianggap "anak tiri" oleh banyak media nasional. Jadwal pertandingan tak adil, liputan minim, bahkan kadang keputusan wasit yang dianggap merugikan. Tapi di situlah cinta Bobotoh diuji. Mereka tak menyerah, tak meninggalkan. Mereka justru makin solid, makin militan. Dalam istilah sosiolog James C. Scott, bentuk loyalitas ini bisa disebut sebagai “resistensi sehari-hari”—perlawanan yang tidak frontal, tapi konsisten dan bermakna.
Sebagaimana ditulis Dr. Asep Ahmad Hidayat, dosen sosiologi UPI, dalam kajiannya tentang komunitas Bobotoh, Persib adalah kanal bagi masyarakat untuk mengekspresikan identitas sosial dan suara yang kerap terpinggirkan. Stadion jadi ruang publik tempat orang bicara, bersuara, dan merasa punya kuasa.
Warisan Emosional Lintas Generasi
Banyak yang bilang, cinta terhadap Persib itu tak bisa dijelaskan secara logika. Mengapa kita bisa sedih berhari-hari hanya karena Persib kalah? Mengapa kita bisa menangis haru saat Persib juara, walaupun hanya menonton dari TV di kontrakan sempit?
Karena ini bukan sekadar pertandingan. Ini tentang ikatan emosional. Tentang masa lalu, tentang kenangan. Seorang ayah mungkin mengenang bagaimana ia diajak kakeknya nonton Persib di Stadion Siliwangi, dan kini ia mengajak anaknya menonton di Stadion GBLA. Ada kebanggaan di sana. Ada kesinambungan yang indah.
Yudi Latif, dalam bukunya tentang kebudayaan Indonesia, menyebut bahwa warisan budaya tidak hanya diwariskan lewat pendidikan formal, tapi juga lewat rutinitas sehari-hari. Menonton Persib bersama keluarga, menyanyikan lagu dukungan, hingga memakai jersey di hari pertandingan—itu semua adalah bagian dari pendidikan budaya.
Ruang Sosial yang Menyatukan