Mohon tunggu...
Saddam Attallah Jamaludin
Saddam Attallah Jamaludin Mohon Tunggu... Mahasiswa di Universitas Indonesia

Seorang mahasiswa yang cinta menulis dan seorang analis geopolitik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Gema Indonesia Terdengar di Kathmandu: Pemberontakan Gen Z Nepal dan Seni Perlawanan Simbolik

11 September 2025   09:20 Diperbarui: 11 September 2025   09:20 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstran di luar kantor Partai Kongres Nepal yang terbakar di Kathmandu. Prabin Ranabhat / AFP via Getty Images

Nepal sedang bergolak. Apa yang dimulai sebagai kemarahan terhadap larangan pemerintah atas media sosial berubah menjadi demonstrasi massal, teriakan melawan korupsi, dan tuntutan reformasi sistemik. Pemicu utamanya adalah penutupan sekitar dua lusin platform, termasuk Facebook, Instagram, WhatsApp, dan X, karena gagal mendaftar di bawah aturan baru. Namun yang dipertaruhkan jauh lebih besar: pengangguran kaum muda, nepotisme, privilese elite, dan runtuhnya kontrak sosial.

Yang menarik, gerakan protes di Nepal yang dipimpin oleh Gen Z tampak meminjam simbol, taktik, dan strategi digital dari gelombang protes terbaru di tempat lain, termasuk Indonesia. Pinjaman ini bukan sekadar tiruan, melainkan resonansi bersama di era media sosial.

Libas Simbol: Jolly Roger Berkibar Lagi

Di Indonesia awal tahun ini, mahasiswa dan aktivis mengadopsi bendera Jolly Roger---bendera bajak laut dari One Piece, anime/manga Jepang---sebagai simbol perlawanan. Ia berfungsi sebagai lambang kontra-narasi: bajak laut fiksi yang berjuang demi kebebasan, akuntabilitas, dan keadilan; sebuah bentuk perlawanan terhadap kecenderungan otoritarianisme dan korupsi elite.
Beberapa bulan kemudian di Nepal, bendera yang sama kembali muncul dalam protes Gen Z. Para demonstran terlihat mengibarkan simbol Jolly Roger One Piece, sebuah tanda solidaritas simbolik lintas negara. Meski belum jelas apakah pemuda Nepal secara eksplisit menyebut Indonesia sebagai sumber inspirasi, berbagai laporan menyebut bahwa ikon ini kini hadir di jalanan Kathmandu.

Frustrasi Bersama, Buku Panduan Bersama

Di luar simbol, ada kesamaan lebih dalam:

  • Media sosial sebagai arena sekaligus sasaran regulasi. Di Nepal, larangan media sosial justru memicu demonstrasi. Di Indonesia, media sosial menjadi tulang punggung mobilisasi protes.
  • Privilese elite. Di Nepal, istilah "Nepo Kid" viral sebagai ejekan terhadap anak-anak politisi yang memamerkan kekayaan di tengah kesulitan rakyat. Di Indonesia, kemarahan serupa muncul atas tunjangan mewah legislator.
  • Kepemimpinan generasi muda yang terdesentralisasi. Baik di Jakarta maupun Kathmandu, protes dipimpin oleh kaum muda, tanpa figur tunggal dominan, tetapi terhubung melalui jaringan online, simbol visual, dan slogan viral.

Namun Konteksnya Berbeda

Meminjam simbol atau taktik tidak berarti konteksnya identik.


Nepal memiliki sejarah politik berbeda: dari penghapusan monarki, pergantian pemerintahan yang sering, hingga koalisi rapuh. Respon aparat pun relatif lebih keras---penembakan langsung, puluhan korban tewas, dan ribuan luka. Secara ekonomi, Nepal juga lebih rapuh: bergantung pada remitansi, PDB per kapita rendah, dan tantangan geografis yang berat.

Gema Geopolitik dan Sosial

Protes di Nepal menunjukkan bagaimana simbol dapat melintasi batas negara lebih cepat daripada diplomat atau investor. Bendera Jolly Roger dari One Piece, yang pertama kali berkibar di Indonesia, menyebar karena sifatnya yang universal: mudah dikenali, bebas dari beban politik tradisional, sekaligus sarat makna perlawanan. Bagi Gen Z Nepal, simbol ini menjadi cara untuk menautkan keluhan lokal mereka ke dalam narasi global tentang pemberontakan generasi muda.


Di sisi lain, ranah digital menjadi medan tempur sekaligus alat tawar. Jika di Indonesia media sosial berfungsi sebagai ruang organisasi, di Nepal, keputusan pemerintah menutup platform justru memperbesar api perlawanan. Di dunia yang terhubung, larangan dan sensor jarang mematikan protes; sebaliknya, ia sering memicu amarah publik dan menarik sorotan internasional.
Gerakan ini juga menyoroti ketidaksabaran generasi muda terhadap privilese elite. Di Kathmandu, istilah "Nepo Kid" menyindir anak-anak politisi yang memamerkan kekayaan di tengah kemiskinan rakyat. Di Jakarta, publik juga murka terhadap fasilitas mewah pejabat. Meski kondisi politik dan ekonomi berbeda, keduanya memperlihatkan jurang yang kian lebar antara kelas penguasa dan generasi muda yang semakin enggan mentoleransi hipokrisi.


Akhirnya, gejolak di Nepal memunculkan pertanyaan tentang stabilitas regional dan efek domino. Asia Selatan punya sejarah panjang menyalin taktik lintas batas---dari gerakan non-kekerasan Gandhian hingga protes mahasiswa. Kini, bendera anime dan meme Indonesia bergema di Kathmandu. Pertanyaannya: apakah gema ini sekadar simbolis, atau akan berkembang menjadi tuntutan terkoordinasi yang mengubah institusi?

Apa yang Perlu Dipantau

  • Apakah perlawanan simbolik akan berubah menjadi reformasi nyata?
  • Bagaimana respons pemerintah dan aparat keamanan terhadap protes ini?
  • Sejauh mana solidaritas lintas negara akan berkembang, atau justru memicu reaksi balik?
  • Apakah budaya protes berbasis simbol dan digital ini akan menjadi norma baru atau hanya ledakan sesaat?

Penutup

Kerusuhan di Nepal bukan sekadar "terinspirasi dari Indonesia"---namun jelas ada benang merah di antara keduanya: keluhan yang serupa, simbol yang sama, dan ketidaksabaran generasi muda terhadap elite. Bendera One Piece bukan lagi sekadar referensi anime; ia telah menjelma sebagai meme perlawanan, lambang global dari ketidakpuasan.
Bagi Nepal, tantangannya adalah mengubah momen ini menjadi reformasi yang nyata. Bagi pengamat regional, yang terjadi mungkin menandai pola baru di Asia Selatan: budaya protes yang bergema lintas negara, di mana ketidakpuasan menemukan bentuk dan suara melalui simbol pinjaman dan media baru.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun