Kecerdasan buatan semakin canggih, mampu mengambil keputusan, menulis puisi, bahkan mendiagnosis penyakit. Tapi mampukah AI menandingi naluri manusia yang tak tertulis dalam algoritma?
Bayangkan seorang dokter senior yang bisa langsung "merasakan" bahwa pasiennya sedang tidak baik-baik saja---padahal semua hasil tes menunjukkan normal. Atau seorang pengusaha yang memilih investasi berdasarkan "feeling", bukan data, namun hasilnya justru gemilang.
Inilah intuisi manusia: hasil dari pengalaman, emosi, dan pemrosesan bawah sadar yang kompleks. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan rumus, tapi terbukti sangat efektif.
Lalu muncul pertanyaan besar: bisakah kecerdasan buatan (AI) meniru bahkan mengungguli intuisi manusia?
Kecerdasan buatan, seperti yang digunakan dalam teknologi ChatGPT, mobil otonom, atau sistem keuangan, bekerja berdasarkan data, pola, dan statistik. AI dapat menganalisis jutaan informasi dalam hitungan detik dan memprediksi hasil dengan akurasi tinggi. Namun, AI tidak "merasakan". Ia tidak memiliki konteks emosional atau insting bawah sadar. Dalam dunia nyata, di mana keputusan sering diwarnai oleh ketidakpastian dan nuansa sosial, hal ini menjadi tantangan besar bagi teknologi.
"Intuisi manusia berkembang dari pengalaman hidup yang kompleks dan tidak terstruktur. Hal ini sangat sulit untuk direplikasi dalam bentuk kode atau model pembelajaran mesin," ujar Prof. Mira Iskandar, pakar neuroscience dan AI dari ITB.
Daripada memperdebatkan siapa yang lebih unggul, banyak ilmuwan kini justru fokus pada kolaborasi manusia dan AI. Di bidang medis, misalnya, AI membantu dokter mendeteksi kanker dari hasil radiologi dengan akurasi tinggi. Tapi keputusan akhir tetap berada di tangan dokter---yang mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan intuisi klinis.
Di dunia bisnis, CEO besar seperti Elon Musk dan Satya Nadella tetap mengandalkan insting dalam mengambil keputusan strategis, meskipun dibantu data prediktif dari AI.
Kolaborasi ini disebut sebagai intelligence augmentation---bukan menggantikan manusia, tapi memperkuatnya.
Para peneliti kini mencoba membangun AI yang lebih "empatik" dan adaptif, dengan meniru pemrosesan kognitif manusia. Model-model baru mulai memasukkan unsur ketidakpastian dan bahkan pembelajaran berbasis pengalaman.