Mohon tunggu...
Firmansyah
Firmansyah Mohon Tunggu... Pekerja

Pegiat literasi dan dakwah, bekerja di BUMD. Menjaga nyala pengetahuan lewat tulisan, taman baca, dan ruang dakwah yang membumi.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Fenomena Sistem Kerja 4 Hari

14 Oktober 2025   09:00 Diperbarui: 13 Oktober 2025   13:23 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja di hari kerja (Sumber: Freepik/Kredit Foto))

Fenomena sistem kerja empat hari dalam seminggu kini bukan lagi sekadar wacana utopis. Banyak perusahaan global, dan beberapa di Indonesia, mulai menguji coba model ini. Tujuannya jelas: meningkatkan produktivitas, mengurangi burnout, dan menciptakan keseimbangan kerja-hidup yang lebih manusiawi. Namun, di balik janji-janji manis efisiensi dan kebebasan, tersimpan sebuah tantangan besar bagi kita semua: Bagaimana kita memanfaatkan waktu luang ekstra yang kita peroleh?

Bayangkan, setiap minggu kita mendapat tambahan satu hari penuh. Ini bukan sekadar libur panjang akhir pekan yang terbentang; ini adalah kesempatan emas untuk menginvestasikan kembali waktu tersebut pada diri sendiri, jauh melampaui sekadar bersantai. Waktu luang ini bisa menjadi katalisator pertumbuhan pribadi dan spiritual yang signifikan, asalkan kita mengisi wadah kosong itu dengan aktivitas yang memang bernilai. Kita bisa menggunakan waktu ini untuk sesuatu yang membentuk karakter, mempertajam kecerdasan, dan menenangkan jiwa.

Kita semua tahu, bersantai itu perlu. Rebahan seharian sesekali adalah self-care yang valid. Akan tetapi, jika cuti tambahan ini secara konsisten dihabiskan hanya untuk konsumsi hiburan pasif, risiko terbesarnya adalah kita akan kembali bekerja pada hari Senin dengan pikiran yang sama-sama kosong, hanya badan saja yang segar. Di sinilah letak argumen kunci: waktu luang dari sistem kerja 4 hari sebaiknya dialihkan untuk dua pilar utama yang saling menguatkan: Literasi dan Ibadah. Kedua aktivitas ini terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup dan kinerja jangka panjang.

Mengapa Literasi dan Ibadah Menjadi Kunci Keberkahan Waktu Luang?

Baik literasi maupun ibadah memiliki fungsi yang melampaui sekadar hobi atau ritual. Keduanya adalah fondasi untuk membangun manusia yang utuh---memiliki kecerdasan berpikir yang diasah oleh ilmu (literasi) dan ketenangan jiwa yang ditempa oleh hubungan vertikal (ibadah). Ketika kedua pilar ini hadir, seseorang tidak hanya menjadi pekerja yang lebih baik, tetapi juga individu yang lebih bijaksana, empatik, dan tahan banting menghadapi tekanan hidup.

1. Literasi Sebagai Investasi Kecerdasan dan Daya Saing Jangka Panjang

Literasi, dalam konteks ini, berarti segala bentuk aktivitas yang melibatkan peningkatan pengetahuan, pemahaman kritis, dan pengembangan keterampilan kognitif melalui membaca, menulis, mempelajari bahasa baru, atau mengikuti kursus yang membangun wawasan. Berikut disajikan alasan mendasar mengapa investasi pada literasi ini sangat krusial di era kerja 4 hari:

  1. Meningkatkan Fleksibilitas Kognitif: Dengan secara rutin membaca topik di luar bidang kerja kita, kita melatih otak untuk menghubungkan titik-titik yang berbeda. Fleksibilitas kognitif ini adalah skill terpenting di era perubahan yang cepat, memungkinkan kita beradaptasi dengan teknologi dan tren baru tanpa stress.

  2. Mencegah Stagnasi Karier: Tambahan waktu luang adalah kesempatan untuk upskilling atau reskilling yang tidak sempat dilakukan di hari kerja. Membaca buku teknis, mengikuti kursus online yang mendalam, atau bahkan mendalami soft skill melalui buku-buku kepemimpinan akan membuat kita tetap relevan dan memiliki daya tawar yang tinggi di pasar kerja yang kompetitif.

  3. Mengasah Kemampuan Berpikir Kritis: Literasi yang baik mengajarkan kita untuk tidak sekadar menerima informasi, melainkan menganalisis sumber, membandingkan argumen, dan membentuk opini yang teruji. Keterampilan ini sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin, yang dituntut mengambil keputusan berbasis fakta yang matang, bukan sekadar intuisi.

  4. Menumbuhkan Empati dan Wawasan Sosial: Membaca fiksi, sejarah, atau biografi membuka jendela kita terhadap pengalaman hidup orang lain. Ini adalah cara paling efektif untuk menumbuhkan empati, memahami konteks sosial yang lebih luas, dan menjadi rekan kerja atau atasan yang lebih suportif dan inklusif.


2. Ibadah Sebagai Penjaga Ketenangan dan Fondasi Etos Kerja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun