Mohon tunggu...
sabila amanda
sabila amanda Mohon Tunggu... Dengan semangat belajar dan dedikasi tinggi, saya menjalani studi Akuntansi Perpajakan di Universitas Pamulang, mempersiapkan diri untuk menjadi ahli di bidang keuangan dan perpajakan yang berintegritas.

Saya Sabila Amanda Syafa, mahasiswa semester 4 Program Studi Akuntansi Perpajakan di Universitas Pamulang. Saya masih dalam proses pembelajaran, namun saya memiliki minat besar dalam bidang akuntansi dan perpajakan, serta berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan profesional saya di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Influencer: Keadilan Digital atau Jerat Kreator Konten?

6 Oktober 2025   23:50 Diperbarui: 6 Oktober 2025   22:38 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Di era digital, profesi influencer dan kreator konten semakin menjamur, mulai dari Instagram, YouTube, hingga TikTok. Pemerintah pun menaruh perhatian dengan mengenakan pajak influencer sebagai bentuk keadilan fiskal. Menurut Direktorat Jenderal Pajak, semua penghasilan, termasuk dari endorsement dan iklan digital, wajib dikenakan pajak. Namun, muncul pertanyaan: apakah kebijakan ini benar-benar adil atau justru menekan industri kreatif yang sedang tumbuh? 

Bagi influencer besar dengan penghasilan miliaran, pajak influencer mungkin tidak terlalu memberatkan. Tetapi untuk kreator kecil yang baru berkembang, kewajiban ini bisa menjadi beban tambahan. Alih-alih mendorong ekonomi digital, kebijakan pajak justru bisa menghambat kreativitas dan perkembangan talenta baru. 

Pajak Influencer: Antara Keadilan dan Hambatan Kreativitas

Secara teori, pajak influencer adalah bentuk keadilan, karena semua orang dengan penghasilan harus berkontribusi. Namun, pemerintah harus lebih bijak membedakan antara kreator besar dan kecil. Tanpa regulasi yang adil, kebijakan ini bisa dipandang sebagai jerat yang merugikan perkembangan industri digital kreatif. 

Pajak influencer bisa menjadi langkah baik menuju keadilan fiskal, asalkan dijalankan dengan transparansi dan regulasi yang proporsional. Jika tidak, justru akan melahirkan rasa ketidakadilan di kalangan kreator konten. 

Kita bisa membandingkan dengan Pajak E-Commerce yang juga menimbulkan pro kontra, serta mengaitkannya dengan isu Keadilan Pajak di Era  Digital yang menjadi diskusi global. 

Pertanyaannya kini sederhana: apakah pajak influencer akan jadi instrumen keadilan digital, atau hanya jerat baru yang membatasi kreativitas anak muda Indonesia?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun