Sebaliknya, dalam skenario buruk, Nusantara bisa menjadi bencana politik dan ekonomi. Biaya pembangunan yang diperkirakan mencapai lebih dari 400 triliun rupiah, dengan skema pembiayaan publik-swasta yang belum sepenuhnya jelas, menimbulkan risiko besar. Pemindahan birokrasi tanpa pemindahan pusat ekonomi dapat menimbulkan dualisme antara Jakarta sebagai pusat bisnis dan Nusantara sebagai pusat administrasi. Hal ini dapat memperlemah koordinasi nasional, meningkatkan biaya transaksi politik, dan memperbesar kesenjangan wilayah.
Dari perspektif psikologi sosial-politik, simbol besar seperti Nusantara dapat menciptakan euforia politik jangka pendek. Masyarakat merasakan kebanggaan, media dipenuhi narasi positif, dan elite politik mendapatkan legitimasi baru. Euforia ini tidak bertahan lama jika tidak ditopang oleh pengalaman nyata. Ketika masyarakat mulai menyadari bahwa hidup mereka tidak berubah secara signifikan, bahwa pusat ekonomi masih tetap di Jawa, dan bahwa pembangunan Nusantara menguras APBN tanpa manfaat langsung, maka muncul disonansi kognitif.
Disonansi ini dapat berkembang menjadi krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Masyarakat mulai mempertanyakan motif di balik proyek tersebut apakah ini benar untuk rakyat, atau sekadar proyek prestise elite? Dalam kondisi politik yang sudah terpolarisasi, kekecewaan publik terhadap simbol besar dapat menjadi bahan bakar bagi gerakan politik oposisi, delegitimasi pemerintah, atau bahkan konflik sosial.
Pemindahan ibu kota ke Nusantara adalah pertaruhan politik besar. Ia memiliki potensi luar biasa untuk mendistribusikan pembangunan secara lebih adil dan mendorong transformasi birokrasi. Namun, proyek sebesar ini tidak bisa hanya bertumpu pada simbolisme kekuasaan. Tanpa strategi implementasi yang matang, tanpa kejelasan pembiayaan, tanpa partisipasi publik yang bermakna, Nusantara berisiko menjadi monumen politik yang indah di atas kertas tetapi kosong dalam kenyataan.
Dalam kerangka Teori Legitimitas Kekuasaan, simbol hanya akan bertahan jika masyarakat merasakan manfaatnya secara nyata. Nusantara bisa menjadi simbol kemajuan atau justru simbol kegagalan elite dalam memahami psikologi publik dan realitas politik. Sejarah akan mencatat keputusan ini, bukan hanya dari arsitektur kota yang berdiri, tetapi dari sejauh mana keputusan ini benar-benar menjawab kebutuhan rakyat Indonesia.
ReferensiÂ
 Tyler, T. R. (2006). Why People Obey the Law. Princeton University Press.
 Easton, D. (1975). "A Re-assessment of the Concept of Political Support." British Journal of Political Science, 5(4), 435--457.
 Edelman, M. (1964). The Symbolic Uses of Politics. University of Illinois Press.
Data Bappenas & Kementerian PUPR tentang IKN (2023--2025).
 Laporan World Bank tentang Urbanisasi Indonesia (2022).