Bayangkan seorang mahasiswa yang besok harus presentasi skripsi. Malam itu ia gelisah, tangannya dingin, jantung berdebar tak karuan. Ia berulang kali membayangkan dosen penguji mengkritiknya habis-habisan. Rasa takut gagal membuatnya tidak bisa tidur, bahkan sampai sakit perut. Menariknya, ia sama sekali tidak memikirkan soal kematian, padahal itu adalah hal paling pasti dalam hidup. Fenomena ini menunjukkan satu hal: bagi banyak orang, kegagalan seringkali lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri.
Psikologi klinis punya jawaban untuk pertanyaan ini. Pada tahun 1950-an, seorang psikolog eksistensial bernama Rollo May menulis sebuah buku penting berjudul The Meaning of Anxiety. Ia berpendapat bahwa kecemasan bukan sekadar gejala klinis yang harus dihindari, tetapi bagian dari kondisi eksistensial manusia. Kecemasan hadir karena manusia menyadari bahwa suatu hari ia akan mati. Kesadaran ini unik, sebab binatang lain mungkin juga merasakan ancaman bahaya, tapi hanya manusia yang mampu merenungkan masa depan, termasuk kematiannya sendiri.
Bagi May, kecemasan eksistensial bisa memicu dua hal pertamaMembuat manusia lumpuh karena rasa takut. KeduaAtau justru mendorong manusia mencari makna hidup
Di sinilah muncul paradoks: kematian memang menakutkan, tetapi justru kesadaran akan kematianlah yang memberi manusia semangat untuk hidup lebih bermakna.
 Lalu, pada 1973, Ernest Becker memperkuat gagasan itu lewat bukunya The Denial of Death. Menurut Becker, manusia membangun "proyek keabadian" (immortality project), yakni segala usaha untuk memastikan bahwa dirinya tetap dikenang walau tubuhnya mati. Itulah sebabnya kegagalan sering dirasakan begitu menyakitkan. Kegagalan bukan sekadar jatuhnya prestasi, melainkan seolah-olah meruntuhkan proyek keabadian yang kita bangun.
Misalnya, seorang penulis yang bukunya tidak laku bukan hanya merasa gagal secara ekonomi, tetapi juga merasa eksistensinya diabaikan. Seorang atlet yang gagal meraih medali merasa hidupnya kehilangan makna. Inilah yang menjelaskan mengapa kegagalan seringkali lebih menakutkan ketimbang kematian: kegagalan langsung merusak rasa harga diri, sedang kematian masih abstrak dan jauh di depan mata.
Â
 Teori Becker kemudian menjadi fondasi bagi tiga psikolog sosial: Jeff Greenberg, Sheldon Solomon, dan Tom Pyszczynski. Pada 1986, mereka merumuskan Terror Management Theory (TMT). Intinya, TMT menyatakan bahwa kesadaran manusia akan kematian menciptakan "teror" psikologis yang luar biasa. Untuk mengatasinya, manusia mencari perlindungan melalui dua hal:
Pertama Cultural Worldview sistem kepercayaan, budaya, atau nilai yang memberi makna dan ketertiban hidup.
Kedua Self-Esteem  keyakinan bahwa diri kita berharga sesuai dengan standar budaya tersebut.
Ketika seseorang gagal, baik dalam studi, pekerjaan, atau hubungan sosial, kegagalan itu merusak self-esteem. Akibatnya, individu merasa makna hidupnya runtuh. Inilah yang membuat kegagalan sering lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri: kegagalan mengancam pilar pertahanan psikologis yang selama ini melindungi kita dari kecemasan akan mati.
Kematian memang menakutkan, tetapi ia masih abstrak dan sering terasa jauh. Sementara kegagalan sangat nyata: gagal ujian, ditolak kerja, kandas dalam cinta. Inilah sebabnya kita lebih sering merasa cemas menghadapi kegagalan ketimbang memikirkan kematian. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat banyak contohnya. Siswa lebih takut nilai jelek daripada menjaga kesehatan mentalnya. Karyawan menolak tantangan baru karena takut tidak mampu. Bahkan banyak orang yang urung menyatakan cinta karena khawatir ditolak, padahal kesempatan itu mungkin tidak akan datang lagi.
Apakah kita harus selamanya hidup dalam ketakutan gagal? Tentu tidak.Psikologi klinis memberikan jalan keluar. Terapi kognitif-perilaku (Cognitive Behavioral Therapy/CBT) misalnya, mengajarkan kita untuk mengubah cara pandang terhadap kegagalan. Alih-alih melihatnya sebagai "akhir dari segalanya", kegagalan bisa dimaknai sebagai proses belajar. Dengan begitu, kecemasan bisa dikelola, dan kita tidak lagi dikuasai rasa takut yang berlebihan.
Pada akhirnya, ketakutan kita pada kegagalan hanyalah cermin dari kebutuhan terdalam manusia: ingin diakui, dihargai, dan merasa bermakna. Jika kita berani menerima bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan hidup, maka rasa takut itu akan melemah. Sebab, kegagalan bukanlah lawan dari kehidupan, melainkan sahabat yang mengingatkan kita untuk terus tumbuh.