Berbicara mengenai infrastruktur sepeda, Belanda termasuk negara yang paling sungguh-sungguh memberikan dan menyiapkan ruang dan infrastruktur kepada semua orang untuk menikmati bersepada di jalan-jalan Belanda dibandingankan negara Eropa lainnya.
Kesungguhan itu terlihat dengan pembangunan jalur khusus pesepeda di semua kota besar dan kota kecil, bahkan di kampung-kampung pelosok Belanda.
Berdasarkan catatan resminya, di seluruh wilayah Belanda, panjang total jalur khusus sepeda sekitar 4.500 km dan 3.500 km di antaranya, diklasifikasi sebagai long-distance cycle route (jalur jauh/panjang), dengan panjang bervariasi, mulai 40 km dan bahkan ada yang panjangnya 1.300 km, yang digunakan untuk lomba Tour the Netherlands (hanya memang tidak sepopuler Tour de France).
Bagian inti dari rencana tata ruang wilayah
Berbicara mengenai tata ruang wilayah jalur pesepeda di Belanda, jangan dibandingkan dengan jalur pesepeda di negara-negara lain selain Eropa, misalnya di Indonesia. Jalur pesepeda di Belanda didesain sejak suatu ruas jalan dibuka/dibangun.
Dengan kata lain, jalur pesepeda di Belanda sejak awal sudah masuk dalam rencana tata ruang sebuah wilayah. Jadi, bukan jalur yang dibuat secara insidentil dan tambal-sulam, berdasarkan selera pemimpin wilayah.
Benar-benar jalur pesepeda
Di Belanda, jalur pesepeda benar-benar khusus untuk pesepada, tidak boleh dilintasi kendaraan roda empat. Bagi pejalan kaki, di setiap jalur pesepeda, juga umumnya ada jalur khusus pejalan kaki (pedestarian). Antara pejalan kaki dan pesepeda tidak saling menerobos.
Namun untuk roda dua (motor), memang terlihat belum ada kebijakan khususnya. Berdasarkan pengamatan, jalan-jalan raya di Belanda tidak didesain untuk pengendara motor (roda dua). Maka pengendara motor juga umumnya menggunakan jalur pesepada. Catatan: pengendara motor di Belanda relatif sedikit.
Menghargai pesepeda
Di Belanda, bersepeda sudah lama telah menjadi salah satu bagian inti transportasi, sehingga ada tradisi atau peraturan tertentu (tertulis ataupun tidak tertulis) yang dihormati hampir semua pengguna jalan.Â
Di titik penyeberangan jalan, atau di persimpangan yang berupa lingkaran tanpa lampu merah, para supir mobil sudah terbiasa mendahulukan pesepeda.
Saya bertanya kepada seorang warga asal Indonesia yang sudah lama bermukim di Belanda, kenapa sih para supir mobil di Belanda terlihat sangat menghargai pesepeda?
Dan jawabannya sungguh menarik, sekaligus terkesan menakutkan, selain karena peraturan (tertulis dan tidak tertulis itu), juga ada faktor lain.Â
Jika misalnya terjadi insiden (mobil menyerempet dan/atau menabrak pesepeda), dan pesepeda yang ditabrak itu mengalami cacat permanen (abadi), yang membuatnya tidak bisa lagi bekerja. Maka supir mobil penabrak itu harus membiayai kehidupan pesepeda itu sepanjang hidupnya. Dan biaya itu ditentukan dengan jumlah penghasilan bulanan si pesepeda ketika terjadi di insiden.
Misalnya, ketika terjadi insiden, pesepeda itu bekerja dengan penghasilan 1.000 (seribu) euros per bulan, maka si supir penabrak harus mengeluarkan dana sebanyak 1.000 (seribu) euros untuk pesepeda itu sepanjang hidupnya.Â
Saya belum pernah membaca peraturan ini. Tapi jika benar, pengendara mobil memang pantas untuk selalu waspada dan tentu saja terpaksa patuh mendahulukan pesepeda di titik penyeberangan atau di persimpangan berupa lingkaran yang tanpa lampur merah.Â
Konsekuensi logisnya bersepeda di jalan-jalan Belanda relatif jauh lebih aman. Sangat jarang terjadi pesepeda diserempet apalagi ditabrak oleh kendaraan roda empat.

Jika ingin bersepeda ke satu tujuan di semua wilayah Belanda, antar kota atau antar dua titik di dalam satu kota, pesepeda tidak perlu repot-repot: bisa memilih jalur khusus pesepada, dengan hanya mengklik aplikasi tertentu (misalnya, google map) untuk memilih jalur, dan akan muncul penjelasan detail rutenya, lengkap dengan jarak dan waktu tempuhnya.
Dan asyiknya, kita bisa memilih jalur yang berbeda-beda. Maksudnya, kalau mau, bisa memilih jalur pulang, yang berbeda dengan jalur pergi.
Desain cantik
Jalur pesepada umumnya dibuat dengan lebar bervariasi antara 1 sampai 2 atau 3 meter. Dan semua jalur pesepeda dibuat satu warna: merah hati atau merah batu bata.Â
Di beberapa jalan, jalur sepeda dibuat di dua sisi jalan: satu di sisi kanan dengan satu arah, dan satunya lagi di sisi kiri (arah berlawanan).Â
Namun di beberapa ruas jalan, jalur sepeda dibuat di satu sisi jalan (kiri atau kanan), dan jalur sepede yang hanya berada di satu sisi jalan ini, akan didesain dua arah.
Di jalan-jalan yang relatif sempit (khususnya di wilayah permukiman di mana tidak dimungkinkan dibuat jalur khusus sepada yang terpisah dari jalan), maka jalur sepedanya dibuat menyerupai "bahu jalan" di jalur tol. Artinya, jalur pesepeda share dengan jalan kendaraan roda empat.
Semua warga punya sepeda
Semua orang di Belanda, dewasa-anak-anak atau lelaki-wanita, pasti punya sepeda. Di setiap rumah, masing-masing anggota keluarga punya sepeda, minimal satu unit sepeda untuk setiap orang.
Dan semua warga Belanda dipastikan bisa dan mahir bersepeda. Karena kemahiran bersepeda menjadi kurikulum di sekolah dasar, sejak usia dini.
Karena itu saya membayangkan, betis dan paha semua orang Belanda relatif sangat padat/kuat. Karena mereka sudah bersepeda sejak usia dini (di bawah 10 tahun).Â
Mungkin karena itu juga, cukup jarang melihat orang Belanda asli, apalagi yang masih relatif muda, lelaki ataupun wanita, yang menderita obesitas (buncit atau gembrot). Boleh jadi juga, akan sangat jarang orang Belanda yang menderita reumatik di betis dan persendian kaki.
Menjajal rute Den Haag - Rotterdam
Pada akhir pekan di awal September 2020, dengan rombongan 10 orang, kami menjajal jalur sepeda Den Haag-Rotterdam, yang berjarak sekitar 25 km (dihitung dari Central Station Den Haag ke Central Station Rotterdam).Â
Di jalur ini, sebenarnya ada tiga jalur yang ditawarkan, yang membentang dari utara (Den Haag) ke arah tenggara menuju kota Rotterdam.

Tapi untuk pesepeda seusia saya, rute 50 km tergolong sudah cukup jauh. Sebab dalam prakteknya, rute 50 km di GPS (yang sekali lagi biasanya dihitung dari Central Station ke Central Station), bisa menjadi 60 bahkan 70 km.Â
Karena dalam perjalanan, pasti pernah agak nyasar-nyasar dikit, khususnya ketika memasuki wilayah perkotaan (karena tersedia banyak rute). Dan begitu sudah tiba dan berada di dalam kota tujuan, perjalanan bisa berkelok-kelok dan sesekali mampir atau bolak-balik antar dua titik  di dalam kota.
Akibatnya, menempuh jarak 50 km (atau lebih) pergi-pulang itu, akan mengakibatkan kepanasan buah pantat yang menempel di sadel sepeda, dan paha-betis yang terus menggowes terasa seolah mau "pecah dan meledak". Capek, memang. Tapi relatif setimpal dengan pengalaman dan kenikmatan memanjakan mata melihat pemandangan di sepanjang jalur.
Dan ternyata, kekuatan menggowes sepeda itu bukan ditentukan semata oleh faktor usia, tapi terutama oleh "jam terbang" bersepeda.Â
Di sepanjang perjalanan, saya sering disalip oleh pesepeda orang Londo, yang usianya lebih tua, padahal saya merasa telah menggowes cukup kencang. Hehehe.
Dalam beberapa kali acara bersepeda berombongan, biasanya dalam perjalanan pergi, saya relatif masih bisa mengikuti ritme kecepatan anggota rombongan lain. Tapi kalau sudah perjalanan pulang, tenaga sudah melemah, bagian kaki (terutama paha) sudah sangat pegal, yang sekali lagi terasa seperti mau meledak. Apalagi kalau jaraknya lebih dari 20 km.
Tapi pemimpin rombongan tampaknya sudah paham betul kapasitas tenaga bersepeda saya. Sebelum berangkat, ia sudah mendesain agar rombongan berhenti istrirahat sekitar 15 menit dalam setiap 30 menit.Â
Artinya kalau rutenya ditempuh 90 menit, berarti perlu istirahat dua kali. Dan titik berhenti istirahat akan dipilih lokasi yang sekaligus bisa dijadikan latar belakang berfoto yang cantik dan menarik.Â
Dan biasanya, menjelang tiba kembali di titik start awal, saya akan tertinggal di belakang, sejauh sekitar 1 km. Tapi saya akan tetap menggowes, sesuai cadangan tenaga yang masih tersimpan. Dengan pengalaman berkali-kali seperti ini, saya mulai berpikir kayaknya sudah saatnya punya sepeda elektrik (heheheh).
Pergi bersepeda, pulang naik kereta
Jika mau, sesekali juga bisa menjajal rute pergi yang berjarak sekitar 50 km. Tapi perginya saja yang bersepeda, pulangnya naik kereta. Karena berberapa kereta antar kota, ada kereta yang menyiapkan gerbong khusus, yang membolehkan penumpang membawa sepedanya.
Misalnya, bersepeda dari Den Haag ke Utrecht yang berjarak sekitar 60 km. Kalau kecapean atau tidak sanggup lagi bersepeda untuk pulang dari Utrecht ke Den Haag, bisa memilih naik kereta menggunakan gerbong yang membolehkan penumpang membawa sepedanya.
Sungguh memanjakan pesepeda
Kembali ke soal bersepeda dari Den Haag ke Rotterdam. Ketika rombongan tiba di jantung kota Rotterdam, yang dibelah teluk (mirip sungai) selebar sekitar 300-an meter (yang sebagian besar titik di dua sisinya dinfungsikan sebagai dermaga pelabuhan).
Pada hari itu, saya baru tahu bahwa ada sebuah terowongan khusus pesepeda (Masstunnel fiets), yang dibangun di bawah teluk, sepanjang sekitar 550 meter, yang menghubungkan dua sisi teluk. Posisinya bersisian tapi terpisah dari terowongan jalur untuk mobil (Masstunnel).Â
Dengan ukuran dan panjang yang berbeda, Masstunnel Fiets di Rotterdam kira-kira mirip dengan Chanel Tunnel yang menghubungkan Calais di Perancis dan Dover/Folkestone di Inggris yang dibuat di bawah selat Dover.
Ketika melintasi Masstunnel fiets di Rotterdam, saya sempat membatin: adanya jalur khusus sepeda di semua wilayah membuktikan bahwa Pemerintah Belanda telah memanjakan para pesepeda, jika dibanding mungkin hampir semua negara di dunia. Tapi terowongan Masstunnel khusus pesepeda ini benar-benar membuktikan betapa Pemerintah Rotterdam lebih dari sekadar memanjakan pesepeda. Luar biasa.
Artinya juga, jika ada pemerintahan kota di suatu negara, yang merencanakan menganjurkan warganya untuk membiasakan bersepeda (untuk bekerja atau keperluan lain termasuk pelesiran), tidak akan pernah efektif kalau tidak diawali dengan mempersiapkan infrastruktur yang nyaman dan aman untuk bersepeda.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 06092020/ 18011442H
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI