Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Membaca Kemungkinan Konfrontasi Militer Terbuka Amerika Vs Iran

24 Juni 2019   08:00 Diperbarui: 24 Juni 2019   13:52 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama beberapa minggu terakhir, ketegangan antara Amerika dan Iran kembali memanas. Seolah perang akan segera meletus pada jam-jam tertentu. Namun, kalau mencermatinya secara tajam, berdasarkan kronologisnya, kedua pihak sebenarnya punya alasan kuat untuk tidak menabuh genderang perang.

Kronologi:

2015, enam negara besar (Amerika, Rusia, China, Perancis, Inggris, Jerman) dan Iran menadatangani perjanjian nuklir Iran. Secara garis besar, perjanjian itu memaksa Iran menghentikan produksi uranium dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.

Mei 2019, Donald Trump resmi menarik Amerika dari perjanjian tersebut, dengan alasan kesepakatan itu merupakan perjanjian terburuk yang pernah dilakukan oleh Amerika dengan negara lain, dan menuding Iran tidak mematuhi pasal-pasal perjanjian.

Mei 2019, setelah berlangsung kurang lebih setahun, dan tampaknya mulai kehabisan kesabaran mempertahankan kebijakan "strategic patience"-nya dalam menghadapi gaya Donald Trump, Iran akhirnya menegaskan tidak peduli lagi dengan kesepakatan nuklir itu. 


Teheran menegaskan akan segera mulai memproduksi melampaui cadangan uraniumnya dan mungkin melakukan kegiatan pengayaan uranium ke tingkat yang mendekati kemampuan membuat bom nuklir. 

Lalu melalui proxy-nya di Yaman dan Irak, rudal-rudal dan drone Iran menyerang pipa minyak dan Bandara di Saudi Arabia, juga pangkalan Amerika di Irak. 

Amerika kemudian merespon dengan menarik sebagian personil militernya yang tidak diperlukan (non-esential staff) dari Irak, sebagai isyarat akan memasuki periode ketegangan serius melawan Iran.

11 Juni 2019: Iran melepaskan seorang warga Lebanon (dan pernah lama tinggal di Amerika), yang dituding sebagai mata-mata. Tindakan Iran ini seolah ingin mengirim sinyal positif dalam rangka menyambut kunjungan PM Jepang Shinzo Abe, yang tampaknya diutus Amerika untuk melakukan perundingan awal dengan para Mullah di Teheran.

12 Juni 2019: PM Jepang Shinzo Abe berkunjung ke Iran dan menyampaikan pesan kepada Ayatullah Khamenei bahwa "Trump ingin perjanjian nuklir baru, bukan perubahan rezim di Teheran." Tapi Khamenei tegas menolak dengan mengatakan, "Iran has no trust in Amerika (Iran tidak percaya lagi dengan Amerika)."

Ketika Shinzo Abe masih berada di Iran, dua kapal tanker (salah satunya dioperasikan perusahaan Jepang) ditembak di Selat Hormuz. Amerika langsung menuding Iran pelakunya. Namun Iran membantah.

13 Juni 2019 (20.21 local time Amerika), seolah mengomentari hasil lawatan Shinzo Abe di Teheran, Trump meng-twit: "...I personally feel that it is too soon to even think about making a deal. The are not ready, and neither are we (Secara pribadi, saya merasa terlalu dini bahkan sekedar berpikir untuk membuat perjanjian baru tentang nuklir Iran. Mereka (orang Iran) tidak siap, begitupun kami."

20 Juni 2019, di atas udara selat Hormuz, Iran menembak jatuh drone mata-mata milik Amerika, type RQ-4, yang mampu terbang dengan ketinggian 18.300 meter (60.000 kaki) - atau dua kali lipat dibanding rata-rata ketinggian terbang pesawat komersial - yang menurut Teheran, drone tersebut terbang di atas wilayah udara Iran. 

Seorang perwira Pasukan Pengawal Revolusi Iran (Revolutionary Guard) belakangan menegaskan, sebenarnya pada saat yang sama, ada pesawat lain Amerika yang berpenumpang 35 orang, terbang di dekat drone tersebut, dan "kami juga bisa menembak jatuh pesawat kedua itu, namun kami tidak melakukannya (We  could have shot down that one too, but we did not)."

21 Juni 2019 (15.03 local time Amerika), Trump meng-twit: "...they shot down an unmanned drone flying in International Water. We were cocked and loaded to retaliate last night on 3 different sights when I asked, how many will die. 150 people, sir, was the answer from General. 10 minutes before the strike, I stopped it, not proportionate to shooting down an unmanned drone (...mereka menembak jatuh pesawat tak berawak yang terbang di perairan internasional. Tadi malam, kami sudah membahas dan memutuskan untuk membalas dengan tiga alternatif, lalu saya bertanya, berapa orang akan tewas jika serangan dilancarkan, dan jenderal menjawab 150 warga Iran. Saya kemudian menghentikan serangan itu. Tidak sepadan antara korban 150 jiwa dan penembakan drone)."

Pembatalan serangan ini dilakukan Trump 10 menit sebelum waktu serangan, yang menurut beberapa media Amerika, saat jet-jet tempur Amerika sudah mengudara untuk menyerang beberap sasaran pangkalan peluncur Rudal di wilayah Iran.

22 Juni 2019 (20.56 local time Amerika), seolah ingin menutupi keputusan pembatalan serangan, Trump menulis, "... we putting major additional Sanction on Iran on Monday (24 Juni 2019). I look forward to the day that Sanction come off Iran... (Kami akan memberlakukan sanksi tambahan terhadap Iran pada Senin (24 Juni 2019). Saya berharap suatu hari nanti, sanksi terhadap Iran bisa berhenti)."

 23 Juni 2019 (00.58 local time Amerika), Trump meng-twit "Saya tidak pernah mundur dari perintah menyerang Iran, seperti dipahami secara salah oleh sebagian orang. Saya hanya menundanya saat ini (I never called the strike against Iran 'BACK', as people are incorrectly reporting, I just stopped it from going forward at this time").

Lalu, seperti biasanya, dalam video-streaming yang viral pada 23 Juni 2019, di depan wartawan, Trump menyampaikan pernyataan mengejutkan dengan berterima kasih kepada Iran yang tidak menembak jatuh pesawat Amerika yang membawa 38 penumpang: "...There was a plane with 38 people..., and they didn't shoot it down, I think that they were very wise not to do that, I think that something that is very much appriciated (ada pesawat dengan 38 penumpang..., dan mereka (orang Iran) tidak menembak jatuh pesawat tersebut. Saya pikir itu adalah sikap yang sangat bijak untuk tidak melakukannya. Sesuatu yang sangat patut dihargai."

Catatan:

Pertama, kemampuan Iran menembak jatuh drone RQ-4 milik Amerika yang mampu terbang di ketinggian 60.000 kaki, mengirim sinyal kuat bahwa kemampuan pertahanan udara Iran melebihi perkiraan para pakar militer Amerika. Boleh jadi, alasan inilah yang menjadi penyebab utama Trump tiba-tiba membatalkan serangan terhadap Iran.

Kedua, pernyataan seorang perwira Pengawal Revolusi Iran bahwa sebenarnya, kalau mau, bisa juga menembak jatuh pesawat berpenumpang 38 orang, yang terbang di dekat drone yang ditembak jatuh itu, terkesan seolah mengejek dan sekaligus mengirim pesan gamblang: pesawat musuh tidak akan leluasa terbang di wilayah udara Iran. Jadi jangan coba-coba!

Ketiga, Amerika saat ini tidak memiliki Menteri Pertahanan, sejak James Mattis mengundurkan diri pada Desember 2018. Kemudian Patrick Shanahan yang menjadi Plt (Pelaksana Tugas) Menteri Pertahnan juga meninggalkan kabinet Trump pada 18 Juni 2019. Artinya kebijakan militer terkait penyerangan Iran diambil dalam kondisi ketika para pengambil kebijakan "tidak memenuhi quorum".

Keempat, menarik membaca analisis majalah The Economist (edisi 22 Juni 2019), yang menulis: "Perhaps all this is simply a head-fake from a president who built a business career on bluster (Barangkali semua ini sekedar pikiran-palsu dari seorang presiden yang membangun karir bisnisnya dengan menggertak). Dan kemudian terbukti, gertakan itu tidak mempan untuk para Mullah di Teheran.

Kelima, melakukan serangan militer terhadap Iran, saat ini dan kapan pun, bermakna akan terjadi perang jangka panjang. Iran bukan mangsa yang enteng diterkam, bahkan oleh kekuatan militer sekaliber Amerika sekalipun. 

Begitu genderang perang ditabuh, semua negara di Teluk Persia akan ikut dan/atau terpaksa diikutkan dalam perang, dan itu bisa berlangsung untuk periode yang sulit ditentukan kapan akan berakhir. 

Konsekuensinya, jalur pelayaran distribusi sekitar seperlima minyak dunia yang melewati Selat Hormuz akan terganggu, asuransi pelayaran kapal tanker segera akan merangkak naik.

Jika itu berlangsung lama, dan pasti akan lama, harga minyak dunia akan terus naik. Dan semua itu pasti akan membuat pusing para "manager ekonomi global", termasuk Amerika. No body wants it to happen. Penerbangan sipil global yang padat di wilayah Teluk Persia akan terganggu. Tiket pesawat juga asuransi pesawat dan penumpangnya akan ikut naik. Semua orang menjadi tidak nyaman.

Keenam, terkesan bahwa Iran sengaja memancing Donald Trump untuk menyerang. Sebab Iran tampaknya berpikiran: jika Iran dibuat bulan-bulanan tak bisa mengekspor minyaknya, maka negara-negara produsen minyak lainnya di Teluk juga tak bisa selamanya menikmati keamanan mengekspor minyaknya. 

Dengan begitu, keputusan Trump membatalkan serangan pada hakikatnya adalah kebijakan yang tidak mengikuti ritme yang dimainkan Iran. Penak toh?

Ketujuh, perang dalam skala besar ataupun kecil, di mana pun dan kapan pun, dan antar pihak manapun, selalu memiliki karakter plus-minus: blessing for some and curse for the others (nikmat bagian sebagian orang, laknat bagi sebagian lainnya). 

Dan kemampuan menang dalam suatu perebutan atau pertarungan kepentingan dengan tanpa perang fisik adalah salah satu indikator kematangan dan kearifan seorang penentu kebijakan.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 24 Juni 2019/ 20 Syawwal 1440H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun