Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengamati Talk-Show Politik di Televisi

18 November 2018   17:18 Diperbarui: 19 November 2018   07:48 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: freepik.com

Sejak 10 Agustus 2018, suasana obrolan politik yang bantah-membantah antara dua kubu Capres-Cawapres menjadi sajian rutin harian untuk publik Indonesia, melalui aneka talk-show di hampir semua saluran televisi. Tentang itu, saya mencatat sejumlah kesan berikut:

Pertama, ada tokoh politik yang selalu terkesan gagap dan gugup ketika didadak oleh wartawan atau pemandu talk-show dengan pertanyaan tentang suatu isu nasional. Saya berpikir positif: mungkin dia punya jawaban tuntas dan argumentatif, tapi sepertinya pikirannya bergerak lebih cepat dibanding kemampuan lidah-mulutnya dalam mengekspresikan isi pikirannya. Jadinya gagap dan gugup.

Kedua, ada tokoh politik yang sekedar cuap-cuap, kadang berbicara lain terhadap pertanyaan yang diajukan pemandu talk-show. Tidak memiliki kesadaran intelektualitas bahwa seorang yang memilih untuk tidak membatah terhadap suatu isu/kasus, biasanya karena ia tidak berani, atau mungkin karena tidak memiliki argumen yang cukup untuk membantahnya. Jadinya, sekedar cuap-cuap. Tokoh kayak ini berpotensi besar untuk berbohong. Di satu talk-show omong X dan di talk-show yang lain bicara Y untuk kasus yang sama.

Ketiga, hampir merata di dua kubu, sangat jarang para jubir-jubir kubu itu berbicara berdasarkan pijakan ide yang bernas ketika merespon suatu kasus. Kita belum mendengarkan argumen kebudayaan tentang misalnya: mengapa banyak orang bereaksi keras dan kasar terhadap terhadap ungkapan "Tampang Boyolali"; atau kasus protes terhadap foto tokoh yang dipasangi mahkota kerajaan di Makassar.

Keempat, ada sejumlah tokoh muda, yang terkesan memaksakan diri berbicara substansi yang tidak dikuasainya. Hanya bermodalkan keberanian (ini juga layak diapresiasi).

Kelima, ada tokoh politik, yang mudah ditebak arah pembicaraannya, di stasiun televisi manapun dia tampil, dengan suara lantang pula. Bicaranya itu-itu juga, nyaris tanpa improvisasi. Bahkan diksi dan kalimatnya hampir tak berubah. Menjawab pertanyaan dengan model teks book.

Keenam, masih banyak jubir kubu yang begitu tampil di layar kaca, sangat sadar bahwa dirinya sedang ditonton. Akibatnya, penampilannya terkesan sangat dibuat-buat. Mirip tapi tak sama dengan bintang sinetron, yang cuma mengandalkan kecantikan atau ketampanannya, namun dengan seni acting yang pas-pasan. Tokoh seperti ini lebih peduli pada penampilannya dibanding substansi yang dibicarakan.

Ketujuh, ada tokoh politik yang ketika tampil acap menyampaikan suatu gagasan, yang menurutnya, gagasan besar dan seolah-seolah jika gagasannya itu diterapkan, maka Indonesia sim salabim akan segera makmur. Terus terang, sejauh ini, saya belum memahami substansi gagasan besarnya itu. Alih-alih memahami kebesaran gagasannya.

Kedelapan, beberapa tokoh politik, yang saat tampil di layar kaca, terkesan sangat menggurui dan angkuh. Mengirim pesan bahwa seakan-akan dirinyalah yang lebih memahami persoalan dibanding semua orang. Orang kayak begini, umumnya, akan kehilangan pesonanya sebelum berbicara. Nggak ngefek. Apalagi tokoh yang menjadikan layar kaca dan media sosial sekedar untuk "curhat politik". Buat saya menjengkelkan.

Kesembilan, tentu saja ada satu-dua tokoh yang selalu mencoba memahami dan memahamkan substansi isu/kasus yang sedang dibicarakan. Isi bicaranya menambah wawasan publik.

Kesepuluh, mungkin saya keliru. Namun ketika debat publik (talk-show) ditampilkan live atau rekaman di layar kaca, tujuan utamanya adalah agar publik pemirsa memahami substansi tema yang dibicarakan dalam talk-show tersebut. Namun proses bantah-membantah atau argumen dibalas dengan argumen tandingan tentang suatu kasus/isu, umumnya lebih diarahkan untuk menyasar atau menyentuh emosi pemirsa.

Saya tidak tahu, apakah kualitas talk-show seperti digambarkan di atas akan berpengaruh terhadap elektabilitas atau tidak. Buat saya pribadi, sedikit pun nggak ngefek.

Syarifuddin Abdullah | 18 Nopember 2018/ 10 Rabiul-awal 1440H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun