Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membayangkan Skenario Pilgub DKI 2017 pada Pilpres 2019

12 April 2018   11:30 Diperbarui: 12 April 2018   11:33 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: detik.com (diolah)

Dari semua perkiraan skenario menghadapi Pilpres 2019, salah satu yang paling mungkin terjadi adalah daur-ulang skenario Pilgub DKI 2017 yang berakhir dengan kemenangan pasangan Anies-Sandy atas petahana Ahok-Djarot.

Sekedar mengingatkan, Pilgub DKI 2017 adalah salah satu Pilkada, yang paling berdarah-darah dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Dan kalau dicermati, setidaknya ada empat variabel kunci yang diolah secara masif dan efektif pada Pilgub DKI 2017:

Pertama, mobilisasi massa dan perang maya secara massif via Medsos oleh para buzer dari dua kubu yang bertarung.  Pertarungan maya ini cenderung menghalalkan semua cara, untuk menyudutkan kubu lain. Ini terjadi pada tiap Pilkada. Tapi dalam Pilgub DKI 2017, dua kubu mengerahkan semua sumberdayanya.

Kedua, kubu Anies-Sandy mengolah kasus Ahok melalui berbagai lini secara simultan dengan sentimen: sosial (minoritas ganda Ahok), keagamaan (kasus Al-Maidah 51); hukum (proses peradilan terhadap Ahok).

Ketiga, mobilisasi pemilih DKI yang berdomisili di luar DKI. Ketika itu, banyak warga DKI yang bekerja dan berdomisili di luar DKI, juga mahasiswa dan pelajar asal DKI yang belajar/kuliah di kota-kota lain, dimobilisasi untuk mengambil cuti, khusus untuk datang ke Jakarta pada hari pencoblosan. Dan sebagian besarnya adalah simpatisan dan pendukung kubu Penantang (Anies-Sandi). Poin ini memang tidak atau kurang terbaca dalam survei-survei Pilgub, dan akhirnya mengakibatkan hampir semua perkiraan survei meleset.

Keempat, begitu putaran pertama Pilgub DKI selesai (14 Februari 2017), yang dimenangkan oleh Ahok-Djarot, kubu Petahana kurang cerdas dalam mengolah limpahan suara dari Paslon AHY-Sylvi (tersingkir di putaran pertama). Ketika itu, Paslon Ahok-Djarot seolah berada di atas angin. Celaka-12 terjadi ketika akhirnya sekitar dua pertiga pemilih AHY beralih ke Paslon Anies-Sandy. Mobilisasi pemilih DKI yang berdomisili di luar DKI tersebut makin maksimal dan kencan di putaran kedua. Memang periode waktu untuk mengolah limpahan suara itu sangat terbatas (cuma sekitar dua bulan).

Catatan: sehari setelah pencoblosan putaran pertama Pilgub DKI (15 Februari 2017) atau dua bulan lebih sebelum pencoblosan putaran kedua (19 April 2017), saya sempat menulis artikel di Kompasiana (16 Februari 2017), yang berjudul, ""Putaran-II Pilgub DKI: Hanya Kecurangan yang Bisa Membendung Gerak Laju Anies-Sandi",

https://www.kompasiana.com/sabdullah/putaranii-pilgub-dki-hanya-kecurangan-yang-bisa-membendung-gerak-laju-aniessandi_58a55443cc9273531cf2f00b

yang memperkirakan dan hampir memastikan Ahok-Djarot akan kalah di putaran kedua. Saat itu banyak yang mencibir, tapi prediksi itu ternyata kebetulan benar.

Pertanyaan kunci: apakah skenario Pilgub DKI 2017 bisa didaur ulang pada Pilpres 2019, dengan agenda utama mengalahkan Petahana?

Jawaban sementara: it depends on (tergantung). Namun keempat variabel inti Pilgub DKI 2017 di atas, akan kembali diupayakan untuk didaur ulang pada Pilpres 2019, tentu dengan sentuhan-sentuhan modifikasi, sebagai berikut:

Pertama, maksimalisasi perang maya di Medsos. Termasuk publikasi hoax. Tiap kubu akan menggiring kubu lain ke dalam "jebakan pertarungan isu" yang menggerogoti. Di sini, permainan cerdas akan sangat menentukan. Yang perlu dicatat dalam poin ini: sumberdaya aparat hukum tidak cukup untuk membendung perang maya. Sebab, perang maya berlangsung sangat massif dan tiap kubu bisa menggunakan server atau beroperasi dari negara lain.

Kedua, akan kembali muncul maksimalisasi isu dalam tiga lini secara simultan: sosial (sukuisme dan asal daerah); keagamaan (memompa keraguan publik tentang agama Paslon tertentu atau isu mayoritas-minoritas); dan hukum (kasus-kasus korupsi dan dugaan kongkalikong antara penguasa dan pengusaha).

Ketiga, mobilisasi massa mengambang (pekerja dan siswa/mahasiswa). Karena Pilpres 2019 berlangsung nasional, maka skenario Pilgub DKI akan dimodifikasi, berubah menjadi mobilisasi pemilih yang berdomisili di luar Dapil-nya agar kembali ke Dapilnya pada hari pencoblosan, tentu dengan menggunakan isu yang sama (variabel kedua). Artinya, massa mengambang (yang sering tidak peduli dengan pencoblosan) akan diarahkan untuk ambil cuti agar bisa menggunakan hak pilihnya di Dapil-nya, guna memenangkan Paslon tertentu.

Keempat, jika diasumsikan Pilpres 2019 diikuti 3 Paslon (kecenderungannya mengarah ke 3 Paslon), berarti akan kembali terjadi fenomena limpahan suara dari Paslon yang tersingkir di putaran pertama. Artinya, bisa diperkirakan, Paslon Petahana akan unggul di putaran pertama, lalu ada Paslon yang meraih peringat kedua (berhak maju ke putaran kedua) dan peringkat ketiga (tersingkir).

Di sini, ada dua poin yang perlu diantisipasi: (a) pemilih Paslon yang tersingkir di putaran pertama sebenarnya juga menentang Petahana. Karena itu, diasumsikan mereka akan lebih cenderung beralih ke Paslon penentang yang meraih peringkat dua; (b) perolehan suara petahana di putaran pertama, diasumsikan telah maksimal. Perlu kerja keras dan juga cerdas untuk menggoda pemilih limpahan dari Paslon yang tersingkir agar beralih ke Paslon petahana. (catatan: dua poin ini, yang kurang cerdas diolah oleh kubu Paslon Ahok-Djarot pada Pilgub DKI 2017).

Karana itu, bagi Petahana, akan sangat menguntungkan jika hanya ada dua Paslon yang maju di Pilpres 2019. Dengan begitu, Pilpres 2019 bisa berlangsung satu putaran, dan diasumsikan akan dimenangkan oleh Petahana. Sebaliknya, bagi kubu Paslon penentang akan diuntungkan jika ada tiga Paslon. Sebab Paslon yang meraih peringkat kedua memiliki peluang besar untuk berharap bisa mengolah limpahan suara dari Paslon yang tersingkir di putaran pertama.

Catatan akhir: dua kubu besar yang akan bertarung di Pilpres 2019 adalah fotokopi dari dua kubu yang bertarung di Pilgub DKI 2017. Benar kata banyak orang bahwa Pilgub DKI 2017 adalah miniatur Pilpres 2019, dan karena itu, skenario Pilgub DKI sangat dimungkinkan kembali didaur ulang pada Pilpres 2019.

Selamat berdemokrasi, dan kita berharap semua pihak, khususnya para pemilih dari kubu manapun, dapat berdemokrasi secara damai dan cerdas, pada Pemilu 2019.

Syarifuddin Abdullah | 12 April 2018 / 26 Rajab 1439H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun