Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sekeras-kerasnya Donald Trump, Akhirnya Takluk Juga Oleh Xi Jinping

11 Februari 2017   14:57 Diperbarui: 13 Februari 2017   08:49 13625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Donald Trump dan Xi Jin Ping. CNN.com

Sikap keras Donald Trump terhadap China hanya mampu bertahan kurang dari tiga bulan. Donald Trump mengendur dan akhirnya mengubah kebijakannya terhadap China: tetap menghormati Kebijakan Satu China (One China Policy).

Ceritanya, pada 2 Desember 2016, Trump melakukan komunikasi telepon selama 10 menit dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, yang kemudian disebut sebagai “unorthodox telephone call (komunikasi telepon yang tidak lazim)”, karena Trump adalah Presiden Amerika pertama yang berkomunikasi langsung dengan Presiden Taiwan sejak 1979. Selama kampanye dan setelah dinyatakan pemenang Pilpres Amerika, dalam beberapa kesempatan, Trump berkali-kali mengatakan, “Kenapa Amerika harus terikat dengan One China Policy", yakni kebijakan yang memperlakukan China dan Taiwan sebagai satu negara.

Tentu saja China berang. China memboikot komunikasi. Tidak ada kontak antara Presiden Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Setelah berlangsung lebih dua bulan, para pejabat Gedung Putih akhirnya berkesimpulan: China marah benaran. Dan Xi tidak akan mau menerima telepon Donald Trump, kecuali jika Trump memberikan pernyataan publik bahwa dirinya akan menghormati One China Policy.

Seperti diketahui, pada Kamis malam Waktu Amerika, 9 Februari 2017, Trump menelpon Xi Jinping, dan menegaskan bahwa dirinya dan Amerika akan menghormati “Kebijakan Satu China”. Sebuah kemenangan diplomasi Xi, yang berhasil mengendurkan sikap jumawa Trump terhadap China.

Dan kemudian diketahui, sebelum menelepon Xi, Donald Trump ternyata dan terpaksa melakukan rangkaian manuver di balik layar untuk membujuk Xi Jinping mau menerima teleponnya.

Pada Jumat 3 Februari, penasehat Keamanan Nasional Michael T. Flynn, berbicara dengan petinggi kebijakan luar negeri China, Yang Jiechi, untuk menegaskan bahwa ketegangan hubungan kedua negara hanya bisa dilunakkan melalui “reinforce high-level exchanges,” (memberdayakan kembali komunikasi sesama pejabat tinggi). Maksudnya antara Trump dan Xi Jinping.

Gedung Putih bergerak cepat. Pada Rabu, 8 Februari 2017, Gedung Putih mengirim surat ucapan selamat Tahun Baru China dari Donald Trump kepada Xi Jinping, yang berisi harapan agar Xi berbahagia. Surat ini diantar langsung (hand-delivered) oleh Michael T. Flynn kepada Cui Tiankai, Dubes China di Washington. 

Dalam surat itu, Trump berharap semoga “the Chinese people a happy Lantern Festival and prosperous Year of the Rooster (bangsa China berbahagia pada Pestival Lampion dan sejahtera di Tahun Ayam Jago)”. Trump juga menegaskan untuk “looks forward to working with President Xi to develop a constructive relationship that benefits both the United States and China (berharap bisa bekerjasama dengan Xi untuk mengembangkan hubungan konstruktif yang menguntungkan kedua negara Amerika dan China)”.

Menanggapi Surat Donald Trump, pada Kamis, 9 Februari 2017, di Beijing, Lu Kang, Jubir Kemenlu China mengucapkan terimakasih, dan secara diplomatis, menegaskan tidak mempercayai spekulasi yang tidak masuk akal (“senseless speculation”), yang menyatakan Trump telah menghina Xi Jinping dengan cara sengaja tidak menjadwalkan untuk menelepon Xi. “The two countries share wide common interests, and cooperation is the only correct path for both(kedua negara memiliki kepentingan bersama yang sangat besar, dan kerjasama adalah satu-satunya cara yang benar untuk Amerika-China”.

Beberapa bocoran dari Gedung Putih juga menegaskan bahwa Menlu Amerika yang baru, Tillerson menginginkan Pemerintah Amerika memberikan lebih banyak sinyal positif yang lebih tegas untuk mencairkan kebekuan: Trump harus memberikan pernyataan publik bahwa Amerika akan menghormati Kebijakan Satu China, agar kedua presiden bisa kembali berkomunikasi langsung via telepon. Sikap Tillerson ini mengacu pada pandangan umum di kalangan pejabat dan tokoh-tokoh Amerika, terutama dari kalangan pebisnis, bahwa tidak ada hubungan bilateral yang lebih penting dibanding hubungan bilateral Amerika-China.

Dan berbagai sinyal positif untuk meredam kemarahan China dilakukan oleh Gedung Putih lewat diplomasi di balik layar. Jared Kushner, menantu Donald Trump yang juga penasehat seniornya, bertemu dengan Dubes China di Washington, Cui Tiankai, sebagai upaya mencairkan hubungan langsung antara Trump dan Xi. Jared Kushner memang dikenal memiliki hubungan dan pernah bertemu dengan seorang miliarder China, Wu Xiaohui, untuk memintanya membangun kembali crown jewel, sebuah gedung komersial di Fifth Avenue, milik keluarga Kushner.

Dan yang lebih menarik, Ivanka Trump, putri Donald Trump, menghadiri pesta Lunar New Year di Kedubes China Washington. Pada kesempatan itu, adiknya, Arabella, sempat menyanyikan lagu ucapan selamat berbahasa Mandarin, yang rekamannya sempat viral di China.

Berbagai upaya itu kemudian mencapai klimaksnya ketika Donald Trump akhirnya “terpaksa” menelepon Xi Jinping pada 9 Februari 2017, dan dalam komunikasi telepon itu, Donald Trump terpaksa atau dipaksa menelan ludah sendiri: bahwa dirinya dan Amerika akan menghormati “Kebijakan Satu China (One China Policy)”. Wow.

Catatan:

Pertama, dalam diplomasi global, setiap negara harus memaksimalkan potensinya untuk memperkuat bargaining position-nya ketika berhadapan dengan negara besar dan pemimpinnya.

Kedua, negara yang meyakini potensi dan kekuatannya akan membiarkan negara lain agar menyadari dan terpaksa menghargai kekuatan dan potensi itu. China meyakini potensi dan kekuatannya dan berhasil memaksa Donald Trump mengakuinya.

Ketiga, harga diri sebuah bangsa hanya bisa dihargai oleh bangsa negara lain, bila bangsa itu sendiri menghargai negerinya sendiri. Jika pemmpin tidak menghargai negaranya, jangan berharap pemimpin dan bangsa lain akan menghargainya.

Keempat, bahwa setegang dan sekritis bagaimanapun hubungan bilateral antar dua negara, saluran-saluran komunikasi tidak resmi dibalik layar - antar pejabat terkait ataupun melalui pihak ketiga - tetap harus dilakukan secara maksimal dan terukur. Bukan tiap sebentar, setiap kali muncul persoalan, langsung mengambil tindakan radikal: memutuskan hubungan secara sepihak.

Kelima, setelah memenangkan suatu “pertarungan diplomasi”, seorang pemimpin negara pemenang tidak perlu sesumbar mengeksploitasi kemenangan itu untuk menyudutkan pemimpin negara yang kalah. Xi Jinping tidak sesumbar kepada dunia bahwa dirinya telah mengalahkan Donald Trump, dan Donald Trump tetap bisa berwibawa meskipun kalah telak. Hasilnya, hubungan Amerika-China kembali ke posisi sebelumnya.

Para diplomat Indonesia masih perlu belajar banyak.

Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 11 Februari 2017 / 15 Jumadil-ula 1438H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun