[caption caption="File pribadi"][/caption]Tersebutlah seorang wanita pendongen yang juga seorang ratu bernama Scheherazade (baca: Syahrasad), yang berusaha menggoda suaminya (Raja Shahryar) agar menunda eksekusi hukuman mati yang telah dititahkan terhadap Si Ratu.
Setiap malam, Scheherazade menuturkan dongen dengan akhir yang selalu memikat dan membuat Sang Raja penasaran. Kisah di malam pertama sengaja disetir dengan sentuhan ketegangan agar bersambung ke malam kedua, dan cerita di malam kedua terasa tidak lengkap tanpa cerita lanjutannya di malam ketiga, dan begitu seterusnya.
Sebuah cerita bersambung dengan plot yang berbeda-beda, kadang berulang-ulang. Sampai akhirnya tak tehitung sudah malam-malam berlalu. Maka muncullah ungkapan “kisah seribu satu malam”.
Tapi sesungguhnya, kisah itu bersambung tidak persis sebanyak seribu satu malam. Sebab ungkapan ribuan adalah satuan tertinggi dalam tradisi dan budaya transaksi masyarakat Arab ketika itu dan sampai saat ini. Satuan juta, apalagi miliar dan triliun, belum dikenal. Dalam kamus-kamus Arab klasik tidak ditemukan kosakata Arab asli, yang menunjuk angka jutaan atau miliar atau triliun. Bahasa Arab modern lalu menyerap bahasa Inggris million dan milliar.
Dalam Quran pun, satuan angka tertinggi adalah ribuan (enam digit). Usman bin Affan misalnya digambarkan pernah memiliki “seribu-ribu” ekor unta (maksudnya: sejuta ekor unta). Angka 10 juta, misalnya, diungkapkan dengan “sepuluh ribu-ribu”.
Ungkapan “seribu satu” hanya menunjukkan jumlah yang banyak, sesuatu yang tak terhitung saking banyaknya.
Maka ungkapan judul tulisan ini: “seribu satu cara vs seribu satu alasan” juga hanya ingin menunjukkan banyak cara dan banyak alasan, yang bisa diungkapkan ketika ingin atau tidak ingin melakukan sesuatu. Bedanya hanya pada kehendak.
Bila ada kehendak, maka seseorang akan mencari dan berusaha menciptakan “seribu satu cara” – atau berbagai cara – agar dapat mengerjakan tugas dan kewajibannya dengan baik dalam rangka mencapai tujuan.
Sebaliknya, jika kehendak tidak ada, maka seseorang akan mencari-cari dan menciptakan “seribu satu alasan” – atau banyak alasan pembenar – guna menghindari melakukan tugas dan kewajibannya.
Ibarat seorang balita yang sedang tidak mood makan, mungkin karena gangguan kesehatan, akan secara alami menciptakan berbagai cara untuk menghindari suapan bundanya: mungkin merengek atau menangis, mengalihkan muka atau menutup mulutnya atau membanting tubuhnya.
Perilaku balita itu bisa juga berulang pada diri orang dewasa. Bedanya hanya pada kemauan. Jika mau, seribu satu cara bisa ditemukan. Sebaliknya, saat tak ada kemauan, seribu satu alasan bisa direkayasa.