Bagi umat Islam, di mana pun, lebaran memiliki semangat yang sama: mensyukuri pamuncak kegembiraan, yaitu kemenangan dalam perkelahian melawan hawa nafsu selama sebulan (Ramadhan). Pada hari itu, hari kembali suci (idul fitri), semua muslim akan saling meminta maaf, satu sama lain. Nuansa silaturrahmi, pada hari raya, sangat kuat dan hangat. Salah satunya diwujudkan dalam bentuk maaf-maafan.
Masih dalam suasana ini, kesadaran sosial umat muslim juga diuji. Salah satunya ditunjukkan melalui sedekah dan zakat fitrah. Potensi zakat ini, sejatinya, jika dikelola dengan baik hingga setiap orang memiliki keinginan secara bawah sadar untuk menunaikannya, tentu akan lebih cepat memperbaiki krisis ekonomi di negara ini, mengingat masyarakat muslim adalah mayoritas di tanah air.
Terlepas dari misi kesyukuran dan kegembiraan atas kemenangan selama bulan puasa, atau jangkauan nilai sosial dalam zakat fitrah, sisi lain yang mencolok dalam suasana idul fitri ini adalah festival makanan. Ragam rupa dan bentuk makanan serta berbagai macam cara penyajiannya merupakan tema lain dalam hari raya. Barangkali, inilah salah satu ciri dari tradisi berlebaran di Indonesia. Ya, makanan yang disajikan pada masa lebaran luar bisa banyak dan jenisnya; sangat berlimpah.
“Syahwat kulinari”, begitu kami menyebutnya, yaitu kegairahan yang begitu tinggi untuk memanjakan selera masing-masing, seolah-olah menjadi judul bagi sebuah pertunjukan massal di hari raya. Ini adalah kenyatan yang tidak dapat disembunyikan. Bagaimana pun, bagi masyarakat pada umumnya, di luar misi menjalankan ibadah karena perintah, puasa merupakan tekanan untuk tidak tergoda pada umbaran syahwat kuliner. Ibarat angkot, bulan ramadhan saatnya ganti oli atau perbaikan mesin. Begitu masuk 1 syawal, mulailah ia siap untuk ngompreng kembali.
Sayangnya, festival makanan yang dipersiapkan bagi para peserta pesta kuliner ini terkadang harus menuai cacat karena urusan teknis semata. Misalnya, jadwal saling kunjung yang lebih bersifat semena-mena. Di desa, kunjungan silaturrahmi pada hari raya, pada umumnya, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Ya, jadwal kunjung-mengunjungi di hari-hari lebaran tidaklah sama dengan jadwal penerbangan atau jadwal pergi-datang kereta api di stasiun. Satu keluarga bepergian ke rumah sanak familinya pada saat keluarganya yang lain dari tetangga desa sedang bertandang ke rumahnya. Jika demikian, dua-duanya akan sama kecewa. Satu contoh, saat keluarga si Anto bertandang ke rumah keluarga Pak Yakub, pada saat yang sama, kelaruga Pak Yakub mungkin masih berlebaran di rumah keluarga Ahmad. Tak adanya jadwal terencana semacam ini, dan itu tidak lumrah direncanakan, sedikit banyak akan mengurangi suasana kebersamaan di hari lebaran.
Akan tetapi, peristiwa semacam ini tidak pernah terjadi pada masa lebaran dalam keluarga besarku. Dalam keluarga besar kami, kunjungan silaturrahmi setiap lebaran telah terjadwal dengan baik. Kesepakatan tak tertulis ini telah ditetapkan berpuluh-puluh tahun yang silam oleh para pendahulu kami.
Jadwal pertama setelah shalat idul fitri, semua keluarga akan “cabis” (pergi bersowan) ke rumah keturunan nenek moyang kami yang paling tua, lalu ke yang lebih muda, dan begitu seterusnya. Karena ada empat kakek yang masih hidup, kami semua akan mengunjungi mereka satu per satu, bergiliran, sesuai tingkat usia kesepuhannya. Setelah itu, acara selanjutnya adalah mengunjungi saudara-saudara yang lain secara bersama-sama, sesuai kesepakatan yang telah ditetapkan.
Selain bermaaf-maafan, bersalam-salaman, kunjungan ini tak lebih daripada sekadar mencicipi makan yang disajikan oleh tuan rumah. Selama empat hari berturut-turut, kami akan mengunjungi mereka bergiliran. Itu artinya, selama empat hari kami akan mencicipi puluhan jenis hidangan yang macam-macam, yang berbeda satu sama lain.
Untuk lebaran tahun ini, hari raya idul fitri 1431 H, jadwal kunjungan kuliner msih dibagi menjadi 5 hari dalam 7 babak: Hari pertama ada dua babak; babak pagi hingga siang menunya berupa camilan, makanan ringan, buah-buahan, makan siang, rujak buah manis-pedas, limun, nasi kuning, kudapan, dan kecambah urap. Adapaun menu sore hari adalah kue kering, gorengan, umbi-umbian rebus, dan rujak krupuk. Adapun hari kedua babak ketiga (pagi), ada menu serabi kuah, gado-gado, es rumput laut, lemper, pasong, tempura, martabak, bakso, nasi bukhari, lopes, es buah, es krim, juga donat dan sosis. Sedangkan pada babak sore harinya adalah menu es nutrijel, kue kering, dan rujak lontong. Kegiatan kuliner ini berlanjut ke hari ketiga. Pada hari ini hanya ada satu babak, yakni pagi sampai siang. Adapun menunya, antara lain, adalah; cake, es krim, spaghetti, puding-fla, cramcam (minuman dari gula merah isi parut mangga muda), cenil, es sitrup frambozen, dan tahu petis. Sedangkan pada hari keempat, kunjungan hanya sekali dalam satu babak di pagi hari, yaitu bakso dan cendol. Untuk tahun-tahun yang lewat, hari kelima dan keenam tak ada jadwal. Jadwal terakhir adalah hari raya ketupat (hari ini). Menunya masih menu makan yang paling lazim dengan ketupat; soto!
Satu hal lagi yang perlu diingat; di sini, dalam keluarga besar kami, secara bersama-sama dan entah sejak kapan diajarkan, tak ada dapur yang menyediakan penyedap masakan (MSG) dalam kotak bumbunya, meskipun bukan berarti kami adalah penganut mazhab vegetarianisme. Kami tetap makan sayur dan juga daging secara seimbang.
Demikianlah laporan kunjungan silaturrahmi kuliner keluarga besar kami. Hari-hari selama lebaran ini betul-betul menyenangkan dan penuh suka-cita keceriaan, terutama bagi mereka yang sangat menggemari berbagai jenis makanan. Lebaran tidak saja identik dengan tasyakkur atas kemenagnan melawan hawa nafsu selama ramadhan, lebih dari itu, susana lebaran adalah suasana festival makanan. Sampai jumpa tahun depan.
M Faizi, penulis
Guluk-Guluk, Sumenep, 17 September 2010