Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Livi Zheng dan Adagium "Biarkan Karya yang Bicara"

5 September 2019   11:03 Diperbarui: 6 September 2019   13:47 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baiklah. Penghargaan, pencapaian, dan prestasi memang penting, tapi bukanlah segala-galanya.

***

Karena rasa kekepoan saya bergejolak melebihi kekepoan terhadap mantan, saya jadi menelusuri berita-berita lawas tentang Livi di internet dan menonton Brush with Danger (2014)--niat hati mau nonton Bali: Beats of Paradise (2018) tapi lupa dan tidak sempat, halah alasan klasik! Juga tak lupa saya tonton video-video lawas tentang Livi yang beredar di YouTube.

Katanya mbak Livi mengisi seminar dan kuliah umum di berbagai universitas luar negeri dan dalam negeri. Saya menemukan video seminar/kuliah umum yang diselenggarakan di ITB tahun 2015 silam. Saya tidak tahu, apakah topik-topik yang dibicarakan di universitas lain sama atau berbeda? Saya tidak tahu, tapi entah kenapa saya pesimis.

Rasanya agak menyedihkan, sebab seminar selama satu jam lebih yang ada di video itu hanya berputar-putar pada cangkangnya saja. Livi, seperti biasa, membagikan kisah romantisisme perjalanan hidupnya di dunia sinema. Sepertinya, kisah itu selalu diulang-ulang di mana saja. Karena selalu diulang-ulang, saya seperti menyimak kaset rusak.

Kata-kata yang menerangkan identitasnya seperti "saya perempuan, Asia, dan muda" selalu muncul. Livi tak akan lupa bercerita soal visi dan misinya mimpinya untuk "mempromosikan" budaya Indonesia ke luar negeri. Menurut Livi, di Amerika sana banyak yang tak mengetahui Indonesia--ia jadi merasa sedih dan sebagai anak bangsa yang punya rasa nasionalisme, Livi tergugah untuk doing something agar budaya Indonesia dikenal dunia (eh, dunia, Eropa, atau AS saja ya? Takut salah memberi informasi, hihihi).

Saya khawatir jika kisah-kisah klise ini saja yang dibicarakan Livi, tanpa ada wacana kebaruan yang membuat kita takjub terhadap kegelisahan, perenungan, pergulatan, dan pemikiran di sepanjang hidup seorang "seniman" sebagai manusia kreatif yang merespon gejolak itu dengan penciptaan suatu karya. Bukan semata-mata mengagungkan drama perjuangan hidupnya dalam meraih kesuksesan.

Apalagi pada video seminar di ITB itu--saya menebak--audiens-nya masih maba alias mahasiswa baru, kinyis-kinyis dan polos. Simak saja gaya dan orientasi pertanyaan yang mereka ajukan terhitung standar-standar saja dan dijawab oleh Livi dengan standar-standar saja. Memang, ada beberapa pertanyaan audiens yang punya potensi besar untuk dieksplor Livi, tapi ia sendiri lebih suka bermain di komidi putarnya dan enggan beranjak.

Apakah saya tengah menyimak kisah seorang motivator?

Saya akan senang sekali jika menyimak pembicaraan dari seniman yang membagikan pengalaman-pengalaman seru dalam proses kreatifnya. Bukan saya doang sih yang senang, warganet yang paling ngehe pun pasti akan senang. Bukankah menyenangkan konsumen merupakan bagian dari strategi marketing? Tapi, pengalaman ini bukan tentang traveling atau syuting rasa liburan, ya. Bukan.

Betapa lebih asyik seandainya mbak Livi bercerita tentang sutradara yang telah menginspirasi mbaknya untuk berkarya, selain Bruce Lee, tentu saja. Teguh Karya misalnya. Kan menurut wawancara dari Tirto mbaknya bilang suka Teguh Karya. Saya ingin mendengar alasan mbaknya, kenapa suka Bruce Lee dan Teguh Karya, selain "ya karena bagus saja".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun