Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Livi Zheng dan Adagium "Biarkan Karya yang Bicara"

5 September 2019   11:03 Diperbarui: 6 September 2019   13:47 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita berhusnuzon saja dulu, terlepas dari isu 'koneksi bisnis di Kemayoran' yang menyertainya, mungkin Livi Zheng masih puber-nasionalisme dan puber-Hollywood-isme--menyitir istilah Pandji Pragiwaksono. Katanya, yang serba puber-puber itu emang nyebelin..

Siapa Livi Zheng? 

Kayaknya saya nggak bakalan ngeuh sosok Livi yang kerap hilir-mudik di media mainstream seandainya Geotimes, Tirto, dan Asumsi tidak "mencincangnya". Saya tidak pernah secara tanpa sengaja menjumpainya di media, entah itu dalam bentuk tulisan maupun audio-visual--nggak tahu kenapa, mungkin saya yang kudet. Sekadar mendengar nama Livi Zheng saja saya tidak tahu--se-kudet itu saya!

Bisa jadi saya akan tetap menutup mata seandainya Cine Crib nggak pernah "menguliti" film Bali: Beats of Paradise yang diglorifikasikan media sebagai "karya anak bangsa yang tembus Hollywood".

Terakhir, yang masih anget-anget, Q&A menghadirkan sidang skripsi Livi, langsung diperhadapkan dengan para dosen penguji panelis yang sangar aduhai kredibilitasnya. Seperti kebanyakan warganet yang melontarkan komentar, Livi yang menghadapi sidang kenapa diri ini yang merasa malu dan deg-degan, ya...

Dalam sekejap, ia berubah menjadi sosok penting dan banyak menyita perhatian saya beserta jagat internet. Livi memang sepenting itu!

Saya seperti deja vu, dulu sewaktu masih kinyis-kinyis di bangku kuliah, para dosen selalu dongkol saat membaca hasil penelaahan kami, para mahasiswa, yang terlalu detail menarasikan biografi dan sederet penghargaan yang dicapai sastrawan/sutradara/seniman/atau apapun itu sebutannya dan sangat dangkal dalam penggalian makna suatu karya.

Sindiran yang akan disemprotkan seperti ini: "Kalau cuma copy-paste dari Wikipedia, anak SD juga bisa!" Hihihi~

Ketika saya berefleksi soal itu, kayaknya sedikit terjawab deh, kenapa kok ketika menonton Q&A saya ikut deg-degan. Kebayang sih, kalau saya ada di posisi Livi dan berhadapan dengan para panelis atau dosen sangar, menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban yang itu-itu saja, percayalah kamu tak akan lulus!

Mereka akan menyindir lagi, "Anda tidak malu karena sudah mempertontonkan kebodohan diri sendiri?" Eh, ini serius sih nggak bohong, pengalaman kuliah saya begini kerazzd.

Baiklah. Penghargaan, pencapaian, dan prestasi memang penting, tapi bukanlah segala-galanya.

***

Karena rasa kekepoan saya bergejolak melebihi kekepoan terhadap mantan, saya jadi menelusuri berita-berita lawas tentang Livi di internet dan menonton Brush with Danger (2014)--niat hati mau nonton Bali: Beats of Paradise (2018) tapi lupa dan tidak sempat, halah alasan klasik! Juga tak lupa saya tonton video-video lawas tentang Livi yang beredar di YouTube.

Katanya mbak Livi mengisi seminar dan kuliah umum di berbagai universitas luar negeri dan dalam negeri. Saya menemukan video seminar/kuliah umum yang diselenggarakan di ITB tahun 2015 silam. Saya tidak tahu, apakah topik-topik yang dibicarakan di universitas lain sama atau berbeda? Saya tidak tahu, tapi entah kenapa saya pesimis.

Rasanya agak menyedihkan, sebab seminar selama satu jam lebih yang ada di video itu hanya berputar-putar pada cangkangnya saja. Livi, seperti biasa, membagikan kisah romantisisme perjalanan hidupnya di dunia sinema. Sepertinya, kisah itu selalu diulang-ulang di mana saja. Karena selalu diulang-ulang, saya seperti menyimak kaset rusak.

Kata-kata yang menerangkan identitasnya seperti "saya perempuan, Asia, dan muda" selalu muncul. Livi tak akan lupa bercerita soal visi dan misinya mimpinya untuk "mempromosikan" budaya Indonesia ke luar negeri. Menurut Livi, di Amerika sana banyak yang tak mengetahui Indonesia--ia jadi merasa sedih dan sebagai anak bangsa yang punya rasa nasionalisme, Livi tergugah untuk doing something agar budaya Indonesia dikenal dunia (eh, dunia, Eropa, atau AS saja ya? Takut salah memberi informasi, hihihi).

Saya khawatir jika kisah-kisah klise ini saja yang dibicarakan Livi, tanpa ada wacana kebaruan yang membuat kita takjub terhadap kegelisahan, perenungan, pergulatan, dan pemikiran di sepanjang hidup seorang "seniman" sebagai manusia kreatif yang merespon gejolak itu dengan penciptaan suatu karya. Bukan semata-mata mengagungkan drama perjuangan hidupnya dalam meraih kesuksesan.

Apalagi pada video seminar di ITB itu--saya menebak--audiens-nya masih maba alias mahasiswa baru, kinyis-kinyis dan polos. Simak saja gaya dan orientasi pertanyaan yang mereka ajukan terhitung standar-standar saja dan dijawab oleh Livi dengan standar-standar saja. Memang, ada beberapa pertanyaan audiens yang punya potensi besar untuk dieksplor Livi, tapi ia sendiri lebih suka bermain di komidi putarnya dan enggan beranjak.

Apakah saya tengah menyimak kisah seorang motivator?

Saya akan senang sekali jika menyimak pembicaraan dari seniman yang membagikan pengalaman-pengalaman seru dalam proses kreatifnya. Bukan saya doang sih yang senang, warganet yang paling ngehe pun pasti akan senang. Bukankah menyenangkan konsumen merupakan bagian dari strategi marketing? Tapi, pengalaman ini bukan tentang traveling atau syuting rasa liburan, ya. Bukan.

Betapa lebih asyik seandainya mbak Livi bercerita tentang sutradara yang telah menginspirasi mbaknya untuk berkarya, selain Bruce Lee, tentu saja. Teguh Karya misalnya. Kan menurut wawancara dari Tirto mbaknya bilang suka Teguh Karya. Saya ingin mendengar alasan mbaknya, kenapa suka Bruce Lee dan Teguh Karya, selain "ya karena bagus saja".

Saya agak sedih juga sih sewaktu mbak Marissa Anita di Satu Indonesia menunjukkan foto Rudi Soedjarwo, mbaknya nggak tahu dia itu siapa. Alasannya hanya karena "belum pernah ketemu" :( Padahal mbaknya suka nonton film AADC.

Betapa asyik seandainya mbak Livi menyebutkan deretan judul film yang oke, ciamik, dan aduhai. Bukan hanya film-film Bruce Lee dan Jet Li, tentu saja. Film-film non-Hollywood dan anti-mainstream kalau perlu, jadi bisa bikin warganet mengernyitkan dahi dan penasaran. Dengan begini, mbaknya secara tidak langsung telah menebar inspirasi untuk warganet, semacam ngasih pencerahan rekomendasi dan referensi film bagus.

Juga, betapa seru seandainya di next project mbak Livi, sebagai sutradara, bisa menggaet aktor-aktor laga Indonesia yang namanya sudah moncer. Misalnya, Iko Uwais. Ajak saja mas Iko Uwais agar duet dengan Ken Zheng? Gimana? Btw, mbaknya udah tahu kan Iko Uwais yang mana? Hihi-hihi-hi~

***

Saya percaya, jika saja Livi tidak menyebut-nyebut "filmnya masuk seleksi nominasi Oscar", tak akan ada pergunjingan-pergunjingan di jagat internet. Sebab karyalah yang sewajarnya dibiarkan bicara sendiri. Kalau toh memang berkualitas, nama si pencipta dengan sendirinya terdengar di telinga-telinga penikmat seni.

Di Media Indonesia (18/08) Livi memberi respon terhadap "isu hoaks" yang beredar (media ini menyebutnya begitu, saya belum terang maksud hoaksnya di sebelah mana). Livi bilang, "Biarkan karya saya yang menjawab".

Saya tidak tahu apakah sepatah kalimat itu akan jadi pemanis untuk menangkal obrolan-obrolan tak sedap alih-alih sebagai benteng pertahanan terakhirnya atau sebenarnya ia betulan mafhum terhadap prinsip ini.

Kadang-kadang, saya geli juga dengan kata-kata itu--kalau boleh saya sebut sebagai adagium: "biarkan karya yang berbicara". Mungkin karena terlalu sering digaungkan dalam lingkar seni-menyeni. Ada semacam nada angkuh yang terselip, bergantung siapa dan tujuan apa yang dikehendaki. Tapi toh sejauh ini kita masih mengamininya sebagai suatu ukuran pembayangan kualitas seni.

Dalam Q&A, Joko Anwar menyentil sekilas soal gejala inferiority complex terhadap Barat. Sebagian orang yang radikal mungkin lebih suka menyebutnya sebagai "mental inlander". Bangsa kita sudah lama mengidap ini dan belum kunjung sembuh. Soalnya, kita gampang sekali tersihir dengan apa-apa yang berbau Barat, ya entah itu karena merasa keren, maju, modern, ataupun beradab.

Memang kenapa harus selalu Hollywood? Ada apa dengan Hollywood? Kenapa kita terobsesi dengan Hollywood? (Dalam bingkai pascakolonialisme, perdebatan ini memang 'seru' dan cukup melelahkan).

Ketika menonton Brush with Danger, saya pesimis. Bisakah kita, sebagai bangsa yang pernah terjajah, keluar dari penyakit inferiority complex?

(Saya nggak ingin banyak bacot tentang film Bali: Beats of Paradise karena belum menontonnya secara full, cuma video-musiknya saja. Tapi ekspektasi saya kemungkinan besar mirip-miriplah sama yang udah diulas Cine Crib, hehehe.)

Saya berhusnuzon. Barangkali Livi, sebagai "perempuan, Asia, dan muda", memang berniat melawan hegemoni Barat. Sayang, cara-caranya tidak tepat. Yang ada justru terjebak dalam binaritas (dua kutub) antara orang Asia vs Amerika. Terjebak dengan stereotip yang itu-itu saja. Hasilnya serba paradoks, menentang sekaligus mengamini stereotip secara bersamaan.

Alice Qiang (Livi Zheng) dan Ken Qiang (Ken Zheng) digambarkan sebagai imigran gelap dari Asia, datang ke Amerika--hanya bermodal bakat melukis dan bertarung--dengan cita-cita bisa hidup kaya-raya. Alice menjajakan lukisan buatannya sementara Ken berusaha menarik pembeli.

Sayangnya, tak ada satu pun orang yang tertarik lukisan Alice. Orang-orang Amerika lebih simpatik terhadap bela diri yang mula-mula diperagakan Ken. Para penonton bertepuk tangan dan memberi pujian. Tak lupa, mereka juga memberi uang receh untuk Alice dan Ken.

Sampai di sini saya jadi gelisah. Penggambarannya terlalu banal dan klise. Orang Asia ditempatkan dengan posisi serendah-rendahnya, tapi memimpikan dan menikmati dunia dongeng Barat.

Ken misalnya, ia sangat senang memperoleh perhatian dan tepuk tangan dari orang-orang Amerika. Juga menikmati dunia modern ala Barat; takjub ketika memakan hamburger atau makanan khas Barat lainnya, senang bisa menonton film di teater pribadi sebebas-bebasnya, dan seterusnya. Alice sendiri masih mempercayai perasaan paradoks ini di scene menjelang akhir, "it's America, anyone can make it."

Saya bertanya-tanya, kenapa Amerika selalu dicitrakan sebagai negeri dongeng yang punya segala-galanya? Kenapa kesuksesan Alice dan Ken hanya diukur dari kacamata modern khas Barat?

Tiba-tiba saja di suatu hari ada seorang lelaki menjatuhkan uang $100 di hadapan Alice dan Ken yang tengah menggelar lapak di pasar. Namanya Justus Sullivan, orang kaya yang punya galeri seni dan tertarik membeli lukisan Alice. Sullivan dengan cuma-cuma pula memberi setumpuk fasilitas yang menjanjikan untuk kedua kakak-beradik ini; tempat berteduh, makanan, pakaian, ruang khusus dan peralatan melukis untuk Alice, juga arena tarung di sebuah sasana olahraga untuk Ken.

Waw, betapa itu semua keajaiban yang turun dari langit ketujuh! Tapi, adakah orang kaya plus super-baik-hati yang memberi kita segala-galanya dalam sekejap mata seperti itu di dunia nyata? Jawabannya Anda tahu sendiri.

Sullivan rupanya rubah berbulu domba. Ia manfaatkan keserbapolosan Alice untuk mengeruk keuntungan. Dalam pandangan Sullivan, pelukis Asia sangat mahir meniru suatu lukisan asli, ya kita mah suka nyebutnya dengan "KW". Alice disuruh meniru lukisan Van Gogh sama persis, sehingga Sullivan bisa menipu kliennya dengan dalih "ini lukisan asli kok". Perspektif ini seolah-olah bilang kalau nilai orisinalitas Asia lebih rendah ketimbang Barat, padahal ini keliru.

Yang paling mengkhawatirkan bagi saya terutama soal porsi peran tokoh-tokohnya yang tak imbang. Kenapa tak coba ciptakan tokoh Asia yang berwatak jahat dan licik? Kenapa harus orang Barat yang jahat dan licik? Kenapa Alice digambarkan sebagai orang yang polos dan cenderung takut mempercayai orang Barat?

Untuk peran protagonis, ada sih tokoh Elizabeth dan seorang detektif, keduanya penduduk Amerika. Tapi alangkah baik jika peran komplotan penjahat itu, Sullivan and the gank, juga diisi orang-orang dari lintas-bangsa-negara, sehingga gambarannya akan jadi fair.

Sebab secara tidak sadar, pandangan kita jadi ikut rasis. Stereotipnya masih langgeng. Kita jadi terjebak binaritas Asia-Amerika sebagai pertarungan antara yang baik dan yang jahat, atau antara yang polos dan yang cerdas, dan seterusnya. Padahal, dunia tidak sesempit itu.

Dari segi plot cerita, film Brush with Danger biasa saja. Tak ada yang istimewa. Formula yang membangun plotnya bahkan bisa kita temukan dalam FTV maupun sinetron. Pun Livi tidak menyodorkan isu sosial yang berangkat dari realitas, padahal film ini mengangkat isu imigran dan punya potensi berkembang ke arah yang luas.

Dari segi akting, Livi dan Ken tampak kaku dan tidak natural. Dari segi sinematografi, saya nggak sreg dengan transisi antar-scene yang tidak smooth. Musik latarnya juga biasa-biasa saja. Dialognya juga biasa-biasa saja.

Jadi saya berusaha meraba sisi-sisi lain dari film ini, siapa tau ada yang terlewat, apa sih yang sebetulnya patut dibanggakan sehingga akan bangga untuk menyebutnya sebagai "film yang masuk seleksi nominasi Oscar".

Tapi, apa, ya?

Saya jadi berpikir lagi, jebakan binaritas Asia-Amerika tidak hanya ada di dalam film, tapi juga di belakang layar Brush with Danger. Mari bertanya, kenapa seluruh aktor, kecuali Livi dan adiknya sendiri, bahkan para krunya diisi orang-orang Barat? Apa karena ingin terlihat "keren" ketika filmnya ditayangkan di Indonesia?

Tak keliru memang jika Livi, sebagai "perempuan, Asia, dan muda" ingin memperoleh pengakuan. Tidak keliru. Saya paham, ada rasa ingin mendobrak dan menentang kebesaran dunia yang dipupuk dalam sebuah mimpi. Ingin membuktikan kalau hei, Asia juga bisa, lho! 

Masalahnya, Livi mirip seperti tokoh Alice yang diciptakan dan diperankannya itu. Menentang sekaligus menikmati kacamata Barat. Perbedaannya hanya terletak pada privilese. Livi punya privilese finansial dan pendidikan, ia sangat menikmati tinggal di Amerika. Sementara Alice tak punya privilese apa pun.

Mungkin itu sebabnya ada kecacatan atas usaha penggambaran tokoh Alice yang dilakukan Livi. Ia enggan melepaskan kacamata khas Barat-nya ketika memerankan Alice. Livi, sebagai orang Asia, gagal memerankan Alice sebagai representasi minoritas. Ia melihat sosok Alice dari singgasananya di Amerika, bukan melihat dari dalam rumahnya sendiri, negara Asia, beserta problem-problem sosial yang menyelimutinya.

Kita berhusnuzon saja dulu, terlepas dari isu 'koneksi bisnis di Kemayoran' yang menyertainya, mungkin Livi Zheng masih puber-nasionalisme dan puber-Hollywood-isme--menyitir istilah Pandji Pragiwaksono. Katanya, yang serba puber-puber itu emang nyebelin. Livi harus belajar menggali perspektif-perspektif lain supaya impiannya bisa terwujud, supaya karyanya bisa besar dan bicara sendiri--juga biar nggak di-bully warganet yang super-ngehe, hehe.

Joko Anwar bilang, kalau profesi sutradara itu unik, termasuk profesi seniman lainnya, ya sastrawan, pelukis, penari, dan seterusnya. Tidak seperti dokter misalnya yang harus menempuh disiplin ilmu, melewati kuliah profesional, hingga punya gelar resmi. Jadi siapapun bisa menasbihkan diri sebagai seorang "seniman", sebagai seorang sutradara, tak ada pembatasan ketat seperti profesi dokter.

Pertanyaannya, Livi bercita-cita jadi sutradara yang seperti apa? Jawaban yang saya harapkan tentu saja bukan sekadar "sutradara yang mempromosikan budaya Indonesia".

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip quote mbak Livi yang diucapkannya berulang-ulang di berbagai kesempatan.

"Follow your dream, it's okay to fail, it's okay to get rejected, because you only need one YES to be successful."

Quote itu, entah kenapa mengingatkan saya terhadap sosok Merry Riana dan Mario Teguh. Hmm..

September, 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun