Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Sebuah Narasi Melawan Alienasi pada Kaum Urban dalam Film "Little Forest" dan "Only Yesterday"

21 Maret 2019   22:50 Diperbarui: 22 Maret 2019   19:12 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Manusia dan Alam | pexels.com

Beberapa waktu lalu, saya baru menonton film Little Forest, baik yang versi Jepang (2014 dan 2015) maupun versi Korea (2018). Mungkin agak telat, mengingat film ini yang dalam versi Korea sudah mencapai titik popularitasnya pada tahun lalu. Little Forest segera menghangat terutama di kalangan pecinta Korea karena diperankan oleh aktor-aktor yang tengah populer.

Saya menarik satu simpulan umum dari film ini: siapapun pasti setuju pada keindahan adegan-adegan memasak yang disorot detail, bersambut dengan sajian ciamik aneka makanan yang membuat kita lapar dan ngiler, bahkan akhirnya latah untuk ikutan memasak. Dari sini, tentu tidaklah sulit menemukan ulasan-ulasan yang memanfaatkan point of interest tersebut. Bisa dikatakan, ceruk perbincangan itu sudah khatam digali.

Kiri: poster film "Only Yesterday" (1991), kanan: poster film "Little Forest" (2018) versi Korea | imdb.com
Kiri: poster film "Only Yesterday" (1991), kanan: poster film "Little Forest" (2018) versi Korea | imdb.com
Poster film "Little Forest", kiri: "Summer/Autumn" (2014), kanan: "Winter/Spring" (2015) | imdb.com
Poster film "Little Forest", kiri: "Summer/Autumn" (2014), kanan: "Winter/Spring" (2015) | imdb.com
Tetapi kali ini saya hendak melipir sedikit, keluar dari wacana mainstream itu. Saya lebih tertarik mengulik Little Forest dari sisi yang tak begitu kentara. Saya tertartik untuk membandingkannya dengan film Only Yesterday (1991) produksi Studio Ghibli. Tentu hal ini beralasan. Sebab sepanjang mengikuti alur Little Forest, memori saya sedikit-banyak terpatri pada bahan dasar kisah Only Yesterday.

Saya menarik satu benang merah: baik Little Forest maupun Only Yesterday sama-sama menukil narasi tentang kehidupan pertanian di desa.

Inti ceritanya: seorang perempuan dari kota yang "melarikan diri" untuk mencari makna dari kehidupan di pedesaan. Di sisi yang lain, muncul peran penting tokoh laki-laki yang memberi stimulus keyakinan pada si perempuan tentang pemerolehan makna-makna itu. Tokoh laki-laki ini semula bekerja kantoran di kota, namun pada akhirnya memilih hidup di desa sebagai petani. Alasannya? Untuk meraih kebebasan.

Kedua film ini----atau 'ketiga'? Sebab Little Forest ada dua versi. Ya, anggaplah dua versi itu sama saja----justru lebih keras menampar saya pada problem-problem keterasingan manusia kota. Alurnya memang simpel dan tak perlu banyak mikir, apalagi dalam Little Forest yang membawa kesan pada pengalaman self-healing, meninggalkan kesan sejuk dan menenangkan bagi pikiran setelah menontonnya.

Patut diakui bahwa kekuatan Little Forest terletak pada daya visualnya yang sinematik, terutama yang versi Korea. Sementara Only Yesterday, saya menyukainya lebih karena "pesan-pesan filosofis nan terselubung" di dalamnya. 

Dari kiri ke kanan: Hye-won, Eun-sook, dan Jae-ha dalam film "Little Forest" versi Korea | imdb.com
Dari kiri ke kanan: Hye-won, Eun-sook, dan Jae-ha dalam film "Little Forest" versi Korea | imdb.com
Memang, problem alienasi manusia kota di kedua film tidak ditampilkan secara gamblang, tidak segamblang dalam film Her (2014) misalnya, atau Taxi Driver (1976)----saya random saja menyebut contoh-contoh film bertema kesendirian di kota, tanpa ada kekhususan argumen, hehe.

Alih-alih menampilkan permasalahan alienasi itu sendiri ke dalam frame cerita, Little Forest dan Only Yesterday justru menjadi antitesisnya. Mungkin kedua film ini bisa disebut sebagai film yang anti-urbanisme----terminologi ini terbetik begitu saja di kepala saya dan sejujurnya saya belum mempelajari apa itu anti-urbanisme, entah tepat entah tidak penyematan istilah ini, tetapi semoga tepat, hahaha.

Sederhananya, saya merasa Little Forest dan Only Yesterday ini ingin menyindir pada tatanan hidup urbanisme tanpa menampilkan visualisasi utuh dari wajah kota itu sendiri. Keduanya lebih suka bermain dan bergumul pada visualisasi pedesaan yang hijau nan asri.

Tokoh perempuan dalam Only Yesterday, Taeko, merupakan representasi orang kota tulen; ia tumbuh-besar di kota dan tidak pernah mengalami seperti apa rasanya "pulang kampung" itu. Maka ketika ada kesempatan cuti dari pekerjaannya, meskipun hanya sepuluh hari, ia lebih memilih pergi ke desa alih-alih berlibur ke luar negeri.

Taeko memperoleh pengalaman berharga selama di desa, ia menciptakan kontak langsung dengan "jantungnya" pedesaan, yaitu dengan menjadi seorang petani meskipun amatiran.

Tokoh Taeko dalam film "Only Yesterday" | imdb.com
Tokoh Taeko dalam film "Only Yesterday" | imdb.com
Sementara tokoh perempuan dalam Little Forest, Ichiko dan/atau Hye-won, merupakan orang desa tulen yang memutuskan pergi ke kota untuk menempuh pendidikan sembari berharap menemukan peluang hidup yang lebih baik di luar desanya. 

Tetapi peluang itu tak ditemukannya di kota. Yang ada ia sering merasa "kelaparan" karena makanan di kota tak seenak yang ada di desa. Di kota, ia terlalu sering memakan makanan instan di samping harus mengirit uang karena biaya hidup yang tidak murah. Sebab itu, ia "melarikan diri" kembali ke desa, alih-alih sebetulnya memang kembali pulang ke rumah yang sebenarnya.

Tokoh Ichiko dalam film "Little Forest" versi Jepang | imdb.com
Tokoh Ichiko dalam film "Little Forest" versi Jepang | imdb.com
Dalam Little Forest versi Korea, sahabat Hye-won bertanya, "Kenapa pulang ke desa?" Jawaban Hye-won adalah, "Aku lapar."

Pada awalnya, saya kira jawaban Hye-won itu hanyalah pemanis humor yang sekadar bumbu-bumbu dalam film. Setelah mengikuti alurnya, saya paham bahwa pernyataan Hye-won bukan candaan semata. Hye-won benar-benar merasa lapar. Ia menanggung rindu pada masakan-masakan enak yang bisa dibuatnya sendiri di desa, yang bahan-bahannya dengan mudah di dapatkannya di desa.

Yang perlu mendapat sorotan dalam Little Forest, bukan hanya adegan-adegan memasaknya saja, kita juga perlu menyimak lebih saksama adegan-adegan bertani yang dilakukan para tokohnya. Bahan-bahan utama masakan, seperti beras dan sayur-sayuran, ia petik langsung dari ladang. 

Tentu cita-rasa masakan yang berasal dari bahan-bahan yang fresh akan berbeda dengan bahan-bahan yang di jual di pasar atau supermarket yang telah berpindah-pindah tangan, ditambah lagi tampaknya sistem pertanian yang digunakan dalam Little Forest adalah pertanian organik, tidak banyak menggunakan bahan kimia.

Selain sayur-sayuran dan buah-buahan yang ditanam sendiri, Hye-won dan/atau Ichiko bisa memperoleh bahan-bahan lain yang telah tersedia di dalam hutan. Pohon-pohon seperti pohon kastanya (chestnut), kacang hazelnut, dan buah beri tumbuh liar di hutan, dengan kata lain siapa pun berhak menikmatinya, tak ada kepemilikan lahan di hutan.

Inilah yang paling menyenangkan bagi saya, di dalam Little Forest kita bisa ikut merefleksi diri bagaimana harmoni antara produksi dan konsumsi yang dilakukan petani terjalin tanpa ada intervensi dari pemilik kapital.

Mereka menanam sendiri hampir seluruh kebutuhan pangannya. Segala produksinya itu mereka konsumsi sendiri, dan sebagian lagi mungkin dijual untuk menghasilkan uang. Mereka hampir tidak pernah membeli kebutuhan pangan ke pasar di samping karena letak desanya yang cukup jauh dari pusat keramaian----untuk pergi ke pasar atau minimarket dibutuhkan waktu setengah jam perjalanan dengan mengendarai sepeda.

Selanjutnya, mari beralih pada film Only Yesterday. Di dalam film ini, memang gambaran tentang bercocok-tanam tidak begitu intens ditampilkan apabila kita bandingkan dengan Little Forest. 

Namun hakikat tentang hidup bertani di desa dan keterikatan manusia-manusianya dengan alam ditampilkan dengan cara yang filosofis melalui dialog-dialog Taeko dan tokoh laki-lakinya, Toshio. Di dalam dialog itu terselip hal-hal yang sangat filosofis, misalnya curhatan Toshio tentang kebahagiaannya menjalani hidup sebagai petani.

Bagi Toshio, "merawat sesuatu yang hidup" itu sangat menyenangkan. "Sesuatu yang hidup" yang dimaksudnya itu merujuk pada alam. Toshio percaya, "jika kita merawat mereka dengan baik, mereka akan berbuat yang terbaik untuk kita. Sebuah pesan yang menarik, bukan?

Toshio adalah representasi manusia kota yang melakukan perlawanan dari kebebalan hidup manusia urban. Tampaknya ia gerah dan gelisah dengan carut-marut mengadu nasib di kota----ini juga yang terjadi pada tokoh laki-laki dalam Little Forest, Yuta dan/atau Jae-ha, meskipun gambaran kegelisahan tokohnya tidak segamblang di dalam Only Yesterday. 

Mereka, para tokoh laki-laki ini, telah menanggalkan dan melucuti mimpi-mimpi----yang sering dianggap----"kemapanan hidup" di kota. Bagi mereka, keputusan menjadi petani di desa berarti menjemput kebahagiaan hidup yang hakiki.

Saya melihat sesuatu yang universal pada kedua film: manusia tidak akan sanggup melepas keterikatan sepenuhnya dengan alam. Tatanan hidup di kota telah merenggut konektivitas antara manusia dan alam----di kota alam telah diletakkan dan diperlakukan sebagai "objek", bukan sebagai "subjek" yang selayaknya berdampingan dengan manusia. Akibatnya, penyakit alienasi (kesendirian dan kesepian) pada manusia urban sudah jadi konsekuensinya.

Ah, tampaknya saya perlu sedikit meluruskan, bahwa titik permasalahannya bukan pada "kota" itu sendiri, melainkan pandangan hidup yang berorientasi pada modernisme yang kebablasan, yang meletakkan manusia sebagai pusat dari segalanya.

Mengenai bentangan jarak dan perbedaan pandangan antara orang kota----sebagai buah dari modernitas----dan orang desa ini disinggung Toshio ketika mereka, Toshio dan Taeko, berhenti di sebuah jalan dan daerah tanpa nama, dan Taeko menyebut tempat singgah mereka itu dengan "antah-berantah". Toshio menyanggah anggapan Taeko. Toshio ingin menunjukkan bahwa setiap tempat memiliki sejarah yang panjang meskipun tempat itu hanya hutan belantara.

Toshio: "Orang kota memandang pepohonan dan sungai-sungai dengan mengucapkan "terima kasih" untuk alam. Tapi apa yang kau lihat sekarang, sesungguhnya dibuat oleh manusia, para petani. Setiap jengkal tanah ada sejarahnya, tidak hanya sekadar ladang dan sawah. Kakeknya-kakek buyut dari seseorang yang menanamnya, atau membersihkannya, mengumpulkan kayu bakar atau memetik jamur di sana. Manusia bertarung dengan alam dan menerima sesuatu darinya. Mereka berkembang bersama, dan menciptakan pemandangan ini."

Taeko: "Jadi tanpa manusia, ini semua tidak akan ada?"

Toshio: "Para petani tidak akan ada tanpa alam. Jadi mereka selalu merawat alam dengan baik dan membantu alam sebagai timbal baliknya. Sebuah kerjasama antara manusia dan alam. Itulah inti dari kehidupan di desa."

Taeko: "Itulah mengapa aku merasa seperti di rumah sendiri. Aku tidak tumbuh besar di sini, tapi entah bagaimana aku merasa jiwaku berada di rumah bila berada di sini."

Pengakuan yang menarik dari Taeko, ia merasa dirinya selalu pulang ke rumah meskipun dirinya tidak berasal dari desa itu. Pengalaman Taeko ini, sebagai anak kandung modernitas, merepresentasikan betapa manusia akan selalu rindu untuk pulang ke rumah yang sesungguhnya, pulang ke pangkuan alam.

Di sela-sela paragraf di atas, saya menyinggung pada dugaan sistem pertanian organik yang dilakukan para tokoh dalam Little Forest. Nah, dalam Only Yesterday, tokoh Toshio menyebut dengan jelas bahwa sistem pertanian yang dikembangkannya adalah pertanian organik. Toshio mengakui banyak kesukaran yang ditemuinya, sebab pertanian di masa sekarang sudah lazim menggunakan pupuk kimia. Ucapan Toshio menarik sekali, seperti ini:

Toshio: "Bertanam tanpa bahan kimia dan sejenisnya. Hanya darah, keringat, dan air mata. Kami hanya menggunakan pupuk alami, tidak pakai pestisida atau apapun. Kami menyerahkan tanaman pada kekuatan alam. Ini keren.. Seperti meminjamkan tangan kepada alam. Terdengar mudah, tapi ini pekerjaan yang sulit."

Dari kiri ke kanan: Taeko, Adik Toshio, dan Toshio dalam film "Only Yesterday" | imdb.com
Dari kiri ke kanan: Taeko, Adik Toshio, dan Toshio dalam film "Only Yesterday" | imdb.com
Toshio ini tampaknya tokoh yang idealis sekali. Saya juga terkesan pada caranya memandang keberlanjutan hidup manusia. Tujuannya bertani bukan semata-mata mengumpulkan pundi-pundi uang untuk dirinya sendiri.

Lebih dari itu, ia sadar bahwa pertanian organik yang digelutinya itu akan membawa dampak positif jangka panjang bagi manusia-manusia di masa depan. Toshio sadar bahwa pertanian dengan pendekatan modernis memiliki simbiosis yang tak sehat bagi manusia dan alam, maka ia merasa perlu untuk menyembuhkan kehidupan yang sekarang ini rusak.

Toshio: "Bukankah saat ini pertanian sedang mengalami kemunduran? Jadi kita tidak boleh berpikir seperti tidak terjadi apa-apa. Kita juga harus memikirkan tentang masa depan. Kita harus saling membantu, menyemangati satu sama lain, atau kita tidak akan bisa bertahan."

Mengenai pertanian organik ini, saya jadi teringat Vandana Shiva, seorang perempuan aktivis lingkungan, yang gigih mengampanyekan pertanian organik demi menyelamatkan ekosistem alam. Menurutnya, petani harus bisa mengembangbiakkan benih alaminya sendiri tanpa ada keharusan membeli benih dari perusahaan kapital. Shiva menolak penggunaan bahan kimia bagi pertanian dan menyarankan pertanian dengan sistem polikultur.

Sesungguhnya, kesamaan visi dengan Shiva inilah yang rohnya coba ditiupkan dengan halus dan indah di dalam kedua film, terlebih Only Yesterday dengan narasi pertanian organiknya.

Problem alienasi pada manusia bukanlah hal sepele, di abad ini kita sudah melihat faktanya melalui angka bunuh diri seperti yang terjadi di Jepang. Ketimbang terus mencari-cari kebahagiaan semu dengan menempuh cara-cara modernis untuk menanggulangi kesendirian dan kesepian, kenapa tak kita coba cara yang lebih holistis? Kenapa tak kita coba tempatkan alam sebagai subjek yang sejajar dengan kita? Kenapa tak kita coba tautkan komunikasi dengan alam?

Kita, sebagai produk modernitas, harus memikirkan ulang cara pendekatan hidup yang lebih bijaksana.

Terakhir, sebagai penutup yang manis, saya ingin mengutip kata-kata dari Vandana Shiva.

"If you are doing the right thing for the earth, she's giving you great company." 

P.s, Ada yang tau apa alasan Shiva menyebut alam dengan kata ganti "She"?
Mari berdiskusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun