Mohon tunggu...
ryn be
ryn be Mohon Tunggu... Mahasiswa arsitektur

Mahasiswa arsitektur aja

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Saat Satwa Jadi Tetangga: Menyikapi Konflik Manusia-Macaca di Indonesia

15 September 2025   21:44 Diperbarui: 15 September 2025   21:48 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
potret harmonis manusia dan monyet di habitat aslinya.sumber: SINDOnews.com

Pendahuluan

Bayangkan kamu sedang liburan ke tempat wisata alam. Tiba-tiba sekawanan monyet muncul, meraih kantong plastik, bahkan berusaha membuka tasmu. Bagi sebagian orang, ini lucu sekaligus menggemaskan. Namun, di balik interaksi singkat itu, ada cerita panjang tentang bagaimana manusia dan monyet—khususnya Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina)—hidup dalam ruang yang semakin tumpang tindih.

Pada 2023, warga Kulon Progo, Yogyakarta, sempat dibuat resah oleh kawanan monyet ekor panjang yang masuk ke area sekolah dan mencuri bekal siswa. Di Bali, turis asing bahkan pernah terluka akibat gigitan monyet yang terbiasa diberi makan. Kasus-kasus ini menunjukkan konflik nyata yang semakin sering kita dengar di berbagai daerah.

Konflik manusia–macaca bukan sekadar cerita monyet nakal yang curi makanan. Ini persoalan serius yang melibatkan hilangnya habitat, kerugian ekonomi, kesehatan masyarakat, dan keberlanjutan ekosistem.

Penyebab Konflik Manusia–Macaca

1.Tumpang Tindih Habitat

Perluasan lahan pertanian, pembangunan pemukiman, hingga industri ekstraktif seperti tambang atau perkebunan kelapa sawit membuat habitat alami monyet semakin sempit. Contoh nyata ada di kawasan hutan karst di Jawa dan Sumatra, di mana pembukaan lahan menyingkirkan satwa liar. Saat rumah mereka rusak, pilihan yang tersisa hanyalah mendekati ruang hidup manusia.

konversi hutan jadi sawit. Sumber: Forest Digest
konversi hutan jadi sawit. Sumber: Forest Digest

2.Perebutan Sumber Daya

Di banyak daerah, macaca masuk ke kebun jagung, pisang, hingga kelapa. Buat mereka, itu sumber makanan mudah. Buat petani, ini bencana. Menurut laporan YIARI, konflik serupa berulang di Sumatra Barat hingga Kalimantan, memicu kerugian finansial besar.

3.Perusakan Habitat

Deforestasi tahunan di Indonesia masih tinggi. Data KLHK 2023 mencatat laju kehilangan hutan mencapai ratusan ribu hektar per tahun. Habitat yang rusak berarti sumber makanan alami hilang, memaksa macaca mencari alternatif—dan sayangnya, itu berarti ladang dan rumah manusia.

4.Perilaku Monyet yang Dibentuk Manusia

Kebiasaan wisatawan memberi makan monyet membuat mereka semakin berani. Studi di Bali menunjukkan bahwa monyet di area wisata seperti Ubud tidak hanya mengandalkan hutan, tapi juga makanan dari turis. Akibatnya, perilaku agresif meningkat, bahkan berisiko menularkan penyakit lewat gigitan atau cakaran.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, Indonesia kehilangan lebih dari 600 ribu hektar hutan pada periode 2019–2022. Angka ini bukan sekadar statistik; bagi macaca, itu berarti hilangnya ribuan pohon tempat berlindung dan mencari makan.

Di Sumatra Barat, petani pisang melaporkan kerugian hingga jutaan rupiah per musim panen karena serangan monyet. Sementara di Bali, sebuah studi Universitas Udayana menemukan bahwa lebih dari 70% perilaku agresif monyet dipicu oleh pemberian makanan dari wisatawan.

Dampak dan Persepsi Negatif

•Gangguan Aktivitas Manusia

Mungkin kamu pernah dengar cerita monyet masuk bandara atau sekolah. Di Yogyakarta, misalnya, macaca tercatat meresahkan warga karena sering masuk ke perkampungan. Gangguan ini bukan sekadar sepele, tapi bisa mengganggu keselamatan manusia.

•Kerugian Ekonomi

Petani adalah pihak yang paling merasakan dampak konflik. Menurut penelitian Universitas Andalas (2022), kerugian akibat serangan monyet di lahan pertanian pisang di Sumatra Barat bisa mencapai jutaan rupiah per musim panen.

•Pandangan sebagai Hama

Karena sering dianggap merugikan, monyet dilabeli sebagai hama. Stigma ini memperburuk situasi konservasi, karena masyarakat jadi cenderung melakukan pengusiran keras bahkan pembasmian. Padahal, macaca punya peran penting sebagai penyebar biji dan penyeimbang ekosistem.

•Ancaman Kesehatan

Kontak langsung manusia–monyet berisiko tinggi menularkan penyakit zoonosis, seperti herpes B virus atau TBC. Kasus gigitan monyet di kawasan wisata juga bukan hal baru, menambah beban kesehatan publik.

Kerugian ekonomi ini tidak kecil. Dalam satu laporan lapangan, seorang petani di Kalimantan Barat mengaku kehilangan hampir separuh hasil kebun jagungnya karena dimakan kawanan monyet.

Dari sisi kesehatan, risiko zoonosis tak boleh dianggap remeh. Virus Herpes B, yang umum ada pada monyet, bisa menular ke manusia melalui gigitan atau cakaran, meski kasusnya jarang. WHO bahkan menegaskan bahwa interaksi intensif manusia–satwa liar berpotensi melahirkan penyakit baru di masa depan.

monyet mengais sampah atau merampas makanan dari turis. Sumber: iStock
monyet mengais sampah atau merampas makanan dari turis. Sumber: iStock

Solusi dan Mitigasi

1.Pelestarian Habitat

Rehabilitasi hutan adalah langkah utama. Program penanaman kembali hutan di Kalimantan yang melibatkan komunitas lokal, misalnya, terbukti mengurangi intensitas konflik satwa-manusia.

2.Edukasi Masyarakat

Mengubah kebiasaan memberi makan monyet adalah kunci. Edukasi ini penting bagi wisatawan maupun warga lokal agar tidak memperkuat perilaku agresif.

3.Manajemen Sampah dan Makanan

Sampah organik harus disimpan aman. Penempatan tong sampah tertutup di kawasan rawan bisa mencegah monyet mengais sisa makanan.

4.Pemanfaatan Teknologi

Di beberapa negara, digunakan camera trap atau sistem alarm suara untuk mengusir monyet tanpa melukai mereka. Indonesia bisa mengadaptasi hal serupa.

5.Kerja Sama Lintas Pihak

Pemerintah, lembaga konservasi, dan masyarakat perlu satu meja. Di Sumatra Utara, kolaborasi BKSDA dengan desa sekitar hutan terbukti menekan konflik lewat program desa konservasi.

Di Tangkahan, Sumatra Utara, masyarakat lokal bekerja sama dengan lembaga konservasi membentuk desa ekowisata. Pendapatan desa meningkat, konflik satwa menurun.

Thailand bahkan sudah menggunakan monkey-proof bin atau tempat sampah anti-monyet untuk mengurangi akses satwa ke makanan manusia. Ide sederhana ini bisa diadaptasi di Indonesia, terutama di kawasan wisata .

Mahasiswa dan komunitas pemuda juga dapat berperan aktif melalui penelitian kecil, kampanye digital, hingga edukasi lingkungan di sekolah-sekolah. Teknologi sederhana seperti drone pemantau kawasan hutan atau aplikasi laporan konflik satwa dapat menjadi solusi modern untuk membantu pemerintah dan masyarakat lokal merespons lebih cepat

kegiatan edukasi masyarakat atau penanaman pohon bersama. Sumber:ksdae
kegiatan edukasi masyarakat atau penanaman pohon bersama. Sumber:ksdae

Penutup

Konflik manusia–macaca bukanlah perang tanpa akhir, melainkan cermin dari cara kita memperlakukan alam. Saat hutan hilang, satwa liar kehilangan rumah. Mereka datang ke ruang kita bukan karena ingin, tapi karena tidak punya pilihan lain.

Alih-alih membenci, kita seharusnya melihat mereka sebagai “alarm ekosistem”: tanda bahwa ada yang salah dalam tata kelola hutan dan ruang hidup. Jika habitat mereka terjaga, manusia pun akan hidup lebih aman.

Konflik manusia–macaca sesungguhnya adalah ujian empati kita. Jika kita mampu menjaga ruang hidup mereka, maka kita juga sedang menjaga masa depan ekosistem yang menopang kehidupan manusia. Jadi, mari berhenti melihat macaca sebagai musuh. Mulailah melihat mereka sebagai mitra dalam menjaga keseimbangan alam Indonesia.

Masa depan hubungan manusia dan macaca sangat ditentukan oleh keputusan kita hari ini. Apakah kita memilih untuk mengusir mereka, atau justru belajar hidup berdampingan? Setiap individu dapat memulai langkah kecil, seperti tidak memberi makan satwa liar secara sembarangan atau ikut menyebarkan edukasi kepada teman sebaya. Perubahan besar selalu berawal dari kesadaran kecil yang dilakukan bersama.

Jadi, ketika bertemu macaca di jalan, ingatlah bahwa mereka bukan musuh, melainkan korban dari kesalahan kolektif kita. Belajar berbagi ruang hidup dengan lebih bijak bukan hanya soal melindungi satwa, tapi jugamenjaga masa depan kita sendiri.

potret harmonis manusia dan monyet di habitat aslinya.sumber: SINDOnews.com
potret harmonis manusia dan monyet di habitat aslinya.sumber: SINDOnews.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun