Pendahuluan
Bayangkan kamu sedang liburan ke tempat wisata alam. Tiba-tiba sekawanan monyet muncul, meraih kantong plastik, bahkan berusaha membuka tasmu. Bagi sebagian orang, ini lucu sekaligus menggemaskan. Namun, di balik interaksi singkat itu, ada cerita panjang tentang bagaimana manusia dan monyet—khususnya Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina)—hidup dalam ruang yang semakin tumpang tindih.
Pada 2023, warga Kulon Progo, Yogyakarta, sempat dibuat resah oleh kawanan monyet ekor panjang yang masuk ke area sekolah dan mencuri bekal siswa. Di Bali, turis asing bahkan pernah terluka akibat gigitan monyet yang terbiasa diberi makan. Kasus-kasus ini menunjukkan konflik nyata yang semakin sering kita dengar di berbagai daerah.
Konflik manusia–macaca bukan sekadar cerita monyet nakal yang curi makanan. Ini persoalan serius yang melibatkan hilangnya habitat, kerugian ekonomi, kesehatan masyarakat, dan keberlanjutan ekosistem.
Penyebab Konflik Manusia–Macaca
1.Tumpang Tindih Habitat
Perluasan lahan pertanian, pembangunan pemukiman, hingga industri ekstraktif seperti tambang atau perkebunan kelapa sawit membuat habitat alami monyet semakin sempit. Contoh nyata ada di kawasan hutan karst di Jawa dan Sumatra, di mana pembukaan lahan menyingkirkan satwa liar. Saat rumah mereka rusak, pilihan yang tersisa hanyalah mendekati ruang hidup manusia.
2.Perebutan Sumber Daya
Di banyak daerah, macaca masuk ke kebun jagung, pisang, hingga kelapa. Buat mereka, itu sumber makanan mudah. Buat petani, ini bencana. Menurut laporan YIARI, konflik serupa berulang di Sumatra Barat hingga Kalimantan, memicu kerugian finansial besar.