Mohon tunggu...
Nirima Raudatulzanah Ramadani
Nirima Raudatulzanah Ramadani Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 24107030094

Seorang Gadis Biasa Dari Pelosok Desa Lamakera Yang Memilih Kota Yogyakarta Untuk Melanjutkan Pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Aku, Kamu, Kita Setara: Menggugat Pandangan Miring Terhadap Difabel Di Lingkungan Pendidikan"

10 Oktober 2025   21:48 Diperbarui: 10 Oktober 2025   21:48 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Di balik slogan "pendidikan untuk semua", masih banyak ruang kelas, kampus, dan ruang belajar yang belum benar-benar terbuka untuk semua. Penyandang disabilitas, khususnya teman tuli, netra, atau difabel fisik lainnya, kerap berjuang dua kali lebih keras. bukan hanya untuk memahami materi, tetapi juga untuk diterima secara sosial. Lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat tumbuh bersama, kadang justru mempertegas jarak antara "kami" dan "mereka".

     Padahal, kesetaraan bukanlah belas kasihan. Kesetaraan adalah pengakuan bahwa setiap manusia, apa pun kondisinya, memiliki hak dan potensi yang sama untuk belajar, berkembang, dan berkontribusi. Namun sayangnya, banyak dari kita masih memandang difabel dengan kacamata keterbatasan, bukan kemampuan. Mereka sering dianggap "kurang mampu", padahal yang sebenarnya kurang adalah pemahaman kita terhadap keberagaman cara mereka berinteraksi dengan dunia.

     Menggugat pandangan miring terhadap difabel berarti menantang sistem nilai yang sudah lama tertanam.  mulai dari sikap individu, desain kurikulum, hingga fasilitas kampus yang belum inklusif. Pendidikan sejatinya tidak hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang membentuk empati dan kesadaran sosial. Ketika ruang belajar gagal memeluk semua kalangan, maka nilai kemanusiaan dalam pendidikan itu sendiri patut dipertanyakan.

     Kampus, yang sering digadang-gadang sebagai ruang paling progresif, ternyata belum sepenuhnya ramah terhadap mahasiswa difabel. Banyak gedung tanpa aksesibilitas, dosen yang belum memahami cara berkomunikasi dengan mahasiswa tuli, atau teman-teman sebaya yang masih canggung berinteraksi. Semua ini menandakan bahwa inklusi belum benar-benar hadir di tingkat praktik, meski kerap digaungkan dalam seminar dan brosur promosi kampus.

     Padahal, mahasiswa difabel tidak meminta perlakuan istimewa. Mereka hanya ingin diperlakukan setara,  diberi ruang untuk berpartisipasi dan menunjukkan potensi yang sama seperti mahasiswa lain. Kesetaraan dalam pendidikan tidak akan tercapai selama masih ada stereotip bahwa difabel "beban" atau "tidak bisa bersaing". Justru dengan keberadaan mereka, kampus diuji: sejauh mana ia mampu menjadi lingkungan yang mendidik tanpa diskriminasi.

     Sering kali, persoalan ini bukan terletak pada kemampuan difabel, tetapi pada minimnya empati sosial. Banyak orang menganggap bahwa rasa kasihan sudah cukup, padahal yang dibutuhkan bukan iba, melainkan penerimaan. Empati berarti mau belajar memahami cara komunikasi mereka, memberi ruang bicara, dan menghargai keberadaan mereka tanpa rasa canggung. Ketika kita berhenti melihat difabel sebagai "yang berbeda", barulah kesetaraan benar-benar hidup.

     Bahasa isyarat, misalnya, bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga jembatan kemanusiaan. Saat mahasiswa non-difabel mau belajar beberapa gerakan sederhana untuk berinteraksi, itu bukan hal sepele.  itu bentuk pengakuan bahwa setiap orang berhak didengar. Kampus yang mendorong penggunaan bahasa isyarat, menyediakan penerjemah, atau membuat kegiatan inklusif, sebenarnya sedang membangun nilai kemanusiaan yang lebih tinggi dari sekadar akademik.

     Lebih jauh lagi, dunia pendidikan perlu berani meninjau ulang paradigma "normalitas". Apa arti normal jika setiap individu punya cara unik dalam belajar dan berinteraksi? Normalitas sering kali menjadi alat pembeda yang justru menyingkirkan mereka yang tidak sesuai standar. Padahal, keberagaman cara berpikir, berbicara, dan memahami adalah bagian dari kekayaan manusia. Di titik inilah pendidikan seharusnya menjadi alat pembebas, bukan pembatas.

     Menggugat pandangan miring terhadap difabel berarti memperjuangkan ruang yang adil bagi semua. Inklusi bukan sekadar program tambahan, melainkan cara berpikir  bahwa setiap manusia berhak merasa diterima dan berpartisipasi penuh. Kita tidak bisa bicara tentang pendidikan berkualitas tanpa memastikan bahwa setiap mahasiswa, termasuk yang difabel, punya akses dan kesempatan yang sama untuk berkembang.

     Pada akhirnya, kesetaraan bukanlah konsep abstrak, melainkan tindakan nyata. Ia hadir dalam sikap sederhana. menyapa teman tuli dengan senyum, menulis catatan agar mereka bisa membaca, atau mendorong kampus menyediakan fasilitas yang ramah difabel. Dari hal-hal kecil seperti inilah perubahan besar dimulai.

     Aku, kamu, kita  semua berbeda, tapi setara. Karena kemanusiaan tidak diukur dari kemampuan mendengar, berbicara, atau berjalan, melainkan dari seberapa tulus kita menghargai satu sama lain. Saat pendidikan benar-benar membuka ruang untuk semua, barulah ia pantas disebut tempat untuk belajar menjadi manusia seutuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun