Mohon tunggu...
Ryan Perdana
Ryan Perdana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembaca dan Penulis

Kunjungi saya di www.ryanperdana.com dan twitter @ruaien

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Perjalanan Karierku sebagai Gitaris

20 Desember 2018   08:26 Diperbarui: 20 Desember 2018   08:30 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Meski muncul dan hilang, impian untuk bisa bergitar terus terbangun. Hanya saja saya bingung, bagaimana cara dan dari mana saya bisa. Paman saya yang tinggal di sebelah rumah konon bisa, tapi gitarnya tak ada. Terus piye 'kan.

Impian bisa bergitar seringkali redup bahkan sirna menghadapi realita yang tidak mendukung. Namun rupanya Tuhan mendengar ada setitik hambaNya yang mempunyai hajat estetis itu. Selain mendengar, Tuhan ternyata tidak tega.

Di belakang rumah, terdapat rumah mungil yang telah sekian lama kosong. Tak dinyana, entah darimana datangnya, tiba-tiba tiga lelaki bersaudara mengontraknya. Mereka tak terdeteksi asal muasalnya dan tidak diketahui nasab atau garis keturunannya. Sekonyong-konyong muncul menjadi tetangga.

Karena rumah kontrakan tidak memiliki sumber air yang layak, mereka menggantungkan kebutuhan pada sumur milik Mbah Kakung saya, yang sebenarnya menyumberkan air berwarna kuning dan agak berbau. Konon, ini karena tanah tempat rumah Mbah Kakung dan rumah kami yang bersebelahan, pada jaman dahulu adalah sebidang rawa. Oleh karena itu, sejak PDAM lahir, sumur kami pensiunkan.

Lokasi sumur persis di sudut belakang rumah kami. Karena Mas Wignyo, Mas Malik, dan Mas Joko sering melewati halaman belakang saat menimba, otomatis perkenalan dan lalu keakraban terjalin.

Rumah kontrakan, tiga lelaki bersaudara, dan sumur adalah mozaik yang menuju pada lengkapnya gambar yang disusun Tuhan. Mozaik itu membentuk gambar utuh yang menampilkan kabar bahwa Mas Wignyo punya gitar!


***

Tahun itu tahun 2001, saya duduk di kelas 2 SMP. Jaman itu jaman dimana musik Indonesia sedang ganteng-gantengnya. Dewa 19 baru saja bangkit dari mati suri dan merilis album Bintang Lima. Once dengan timbre suara dari antah berantah mengantar Dewa 19 meraih puncak kesuksesan. Seketika Ari Lasso terlupakan. Tio Nugros yang tampan itu paten pula sebagai penjaga tempo lagu-lagu dahsyat Ahmad Dhani --yang saat itu belum kenal politik dan Mulan Jameela.

Sheila on 7 baru selesai merilis album Kisah Klasik untuk Masa Depan, album kedua yang juga laku di atas satu juta keping. Padi juga sedang di kulminasi popularitas dan musikalitas. Album Sesuatu yang Tertunda membuat mereka semakin diperhitungkan dalam skena musik Indonesia.

Single hits Mahadewi (album Lain Dunia) yang meledak disusul tanpa ampun dengan dirilisnya Sesuatu yang Indah dan Semua Tak Sama (album Sesuatu yang Tertunda). Padi kontan mereguk kesuksesan besar dan masuk dalam jajaran band elite Indonesia, sejajar dengan Dewa 19, Slank, GIGI, Sheila on 7, dan jangan lupakan Jamrud yang setahun sebelumnya menggila lewat album Ningrat.

Indonesia saat itu masih punya MTV sebagai barometer musik berkualitas. Publik otomatis mendapat asupan musik-musik nutrisi tinggi hingga telinga menjadi sehat dan berkelas. Publik sebagai penikmat pun bergairah menyambut atmosfer musikalitas yang meletup-letup. Atmosfer itu pula yang terhirup oleh kami remaja-remaja tanggung yang hanya bermodalkan gaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun