Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

GapWay: Gagap Busway (Tulisan Narsis, Nggak Usah Dibaca)

19 Mei 2015   17:56 Diperbarui: 4 April 2017   18:15 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_366542" align="aligncenter" width="600" caption="suasana dalam busway yang saya naiki, minggu 17 mei 2015 (dokpri menggunakan nokia lumia 520)"][/caption]

Saya lupa kapan terakhir kali naik busway, yang jelas seingat saya sejak tahun 2013 sudah tidak lagi menggunakan moda angkutan massal ini untuk ke daerah Mangga Dua yang menjadi tempat langganan saya membeli DVD kosong dan kawan-kawannya untuk menunjang pekerjaan saya.

Karena sudah lama berpaling dari busway, hari Minggu kemarin saya mengalami apa yang saya sebut sebagai ‘gagap busway’.

Bermula dari keinginan saya dan keluarga untuk jalan-jalan ke mall terdekat di daerah Kalibata, kami memutuskan untuk naik angkot saja – angkot biru rute Kampung Melayu – Kalibata.

Tiba-tiba di tengah perjalanan, istri saya nyeletuk,

“Ke Citraland aja yuk.  Bosen Kalibata melulu.”

Maka tujuan perjalanan berubah.  Kami turun dan berjalan kaki menuju halte busway Indomobil, Cawang.

Gagap di Loket

Dengan selembar uang Rp 50.000, saya meminta si sulung untuk membeli 3 buah tiket busway.  Setelah bicara dengan mbak-mbak loket, si sulung menoleh ke arah saya dan berkata,

“Ayah, pake kartu.”

Oh, saya baru tahu kalo busway sekarang harus pakai kartu Smart Card – atau istilahnya e-ticketing.

“Harganya berapa?” tanya saya pada si sulung.

“Empat puluh ribu,” jawabnya setelah mendapat jawaban dari petugas loket.  Dengan harga Rp 40.000, kartu perdana busway sudah terisi saldo sebesar Rp 20.000 yang bisa digunakan siapapun pemegang kartu selama saldonya mencukupi.

Kartu pun akhirnya didapat, dan saya melongo melihat kartunya.

Ya, kartunya ternyata Kartu Flazz dari BCA – setidaknya itu yang saya dapat.  Tadinya saya pikir kartunya kartu khusus TransJakarta atau kartu transportasi terintegrasi misalnya kartu Busway yang bisa digunakan untuk naik kereta Commuter Line.

Kalo tau kartunya Flazz mah sebenernya kita nggak perlu beli, batin saya karena saya dan istri masing-masing sudah memiliki Flazz.

[caption id="attachment_366540" align="aligncenter" width="600" caption="kartu flazz yang saya dapat dari loket busway (depan) dan kartu flazz yang sudah saya miliki sebelumnya (belakang), kalo tau kartunya flazz mah nggak usah beli hehehe (dokpri menggunakan nokia lumia 520)"]

1432032516309923686
1432032516309923686
[/caption]

Ah tapi sudahlah, setidaknya saya tahu bahwa Flazz bisa diisi ulang (Top Up) di mana saja dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan lain (belanja, makan, dsb), hanya saja yang jadi pikiran saya adalah harga kartu yang Rp 40.000 berisi saldo Rp 20.000, berarti harga kartunya doang Rp 20.000? Dan naik busway harus pakai kartu?

Pantas saja beberapa teman pernah ngedumel soal ini,

"Gue cuma sekalinya naik busway, sendirian pula, masa' harus bayar 40.000?"

Yah, masuk akal sih.  Rasanya memang nggak worthed jika (calon) penumpang yang tidak memiliki kartu harus membayar sebesar Rp 40.000 hanya untuk satu-dua kali perjalanan.  Mungkin sebaiknya pihak pengelola busway menyediakan semacam single trip tiket untuk penumpang yang hanya membeli 1-2 tiket.

Gagap di Dalam Bus

Selama di halte, saya melihat bahwa calon pengguna busway sekarang sudah sedikit lebih tertib, mereka tidak lagi berdiri menghalangi penumpang yang keluar dari bus - kecuali saat kami turun di halte tujuan akhir, beberapa calon penumpang yang tidak sabar mendesak masuk meski masih ada penumpang yang keluar dari bus.  Saya harus melindungi bungsu saya yang berusia 2 tahun dan digendong istri saya sekaligus menggandeng si sulung agar tidak sampai terpisah.

Sedikit flashback, ketika kami sudah naik ke dalam bus, petugas dengan sigap meminta salah seorang penumpang untuk berdiri dan memberikan kursinya pada istri saya.  Penumpang itu - seorang perempuan muda, langsung berdiri diiringi ucapan terimakasih dari istri saya.

Setelah itu si petugas berkata pada saya,

"Pak, mundur ke belakang ya."

Saya mengira petugas itu meminta saya mundur karena saat itu saya berdiri di dekat pintu masuk.  Saya pun mundur ke pintu di sisi satunya, namun petugas itu masih mengatakan hal yang sama, meminta saya ke belakang.

Oh, mungkin pintu harus steril, pikir saya.  Saya akhirnya berdiri di dekat istri.

Setelah beberapa lama, saya baru sadar maksud perkataan petugas tadi.  Bus yang saya naiki adalah bus gandeng, dan kami tadi masuk dari bus yang di depan (gerbong satu istilahnya).  Dan ternyata... bus bagian depan diperuntukkan bagi penumpang wanita!  Ada tulisan 'Ruang Khusus Wanita'.

Waduh.

Dengan malu saya pun pindah ke belakang, ke gerbong dua.

[caption id="attachment_366539" align="aligncenter" width="600" caption="kompartemen satu (bus depan) rupanya khusus buat penumpang wanita (dokpri menggunakan nokia lumia 520)"]

1432032178573293379
1432032178573293379
[/caption]

Saya perhatikan, busway yang sekarang ternyata beda dengan sebelumnya - setidaknya dengan busway jurusan Kampung Melayu - Ancol yang pernah saya naiki.  Ruang pengemudi sekarang steril, ada pintu yang memisahkan penumpang dengan pengemudi.

Catatan

Pengalaman menggunakan busway hari itu menunjukkan adanya perubahan positif - setidaknya itu yang saya lihat karena saya juga tidak tahu bagaimana kondisinya di waktu-waktu lucu seperti hari dan jam kerja.  Saya ingat satu hal yang menyebabkan saya enggan menggunakan busway ketika harus ke Mangga Dua; waktu tunggu yang terlalu lama (rata-rata 45-60 menit), semoga poin yang satu ini sudah dibenahi.

Yang masih mengerikan mungkin kondisi jembatan penghubungnya.  Plat baja yang menjadi lantai jembatan masih terasa tipis dan membuat takut putri sulung saya, apalagi beberapa plat terlihat tidak terpasang sempurna dan ada plat yang melesak.  Meski saya bisa menduga bahwa plat memang sengaja dipasang agak longgar agar ada ruang ketika memuai terkena panas matahari, tetap saja rasanya dag dig dug.

Terimakasih sudah membaca tulisan nggak penting ini, semoga masih ada manfaatnya bagi calon penumpang busway.  Selamat sore :)

Tulisan ini masuk kategori “Selfish” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun