Sekarang ini tidak ada yang lebih saya tunggu selain cepat berlalunya "tanggal 9".
Awalnya sama seperti yang lainnya saya pun antusias dengan pesta demokrasi yang akan segera digelar, yang (mungkin) belum pernah semenarik ini sebelumnya. Saya pun sudah punya pilihan saya sendiri sehingga kadang-kadang ikut memberikan komentar, baik sekedar obrolan sambil lalu dengan teman-teman maupun melalui media sosial. Tapi hari demi hari menjelang "tanggal 9", saya kemudian menjadi muak.
Muak ketika sekarang semua orang dimanapun, kapanpun, dan di media apapun bicara keburukan masing-masing calon untuk saling mendukung capresnya.
Muak ketika orang-orang mulai membela membabi-buta apapun yang dilakukan oleh capres jagoan mereka.
Muak ketika orang-orang yang sebelumnya hanya pamer foto alay mendadak MERASA mumpuni bicara politik di media sosial meski dengan logika pemikiran bahkan jauh dari 'seadanya'.
Muak ketika simpatisan-simpatisan dadakan merasa dirinya paling benar dengan mendiskreditkan pilhan orang lain dan memaksakan pilihannya untuk dipilih juga oleh orang lain.
Muak ketika masing-masing pihak memfitnah dan merasa difitnah.
Muak ketika media hanya menyajikan berita untuk kepentingan capres yang didukung oleh si pemilik media. Dan yang terakhir, muak ketika tindakan anarkis dilakukan demi membela capresnya. Saya tidak mengatakan si media benar. Tidak sama sekali. Tapi ketika ketidakbenaran media tersebut disikapi dengan tindakan anarkis. Lalu apa bedanya mereka? Bukankah akan lebih terhormat ketika sesuatu yang dianggap menghina dan fitnah itu dibawa ke jalur hukum dan dewan pers tanpa disertai dan diawali tindakan anarkis?
Para simpatisan dadakan yang selalu membabi-buta ini mungkin tidak sadar  bahwa tindakan mereka justru membuat orang-orang seperti saya misalnya, terpikir untuk kembali apatis.
Pada sisa-sisa waktu terakhir menjelang hari yang saya tunggu-tunggu ini, saya berharap para simpatisan dapat mendukung dengan lebih bijak dan bukan hanya merasa bijak supaya kami tidak perlu berpikiran untuk kembali apatis.