Orang - orang berkumpul di masjid mendengarkan ceramah. Pak Kiyai sampaikan tentang kerukunan ummat yang ramah.
Malam yang dingin habis hujan mendatangkan kesejukan. Orang - orang tua diminta memberikan anak - anak pemahaman. Agar tidak salah pengertian karena perbedaan jadi permusuhan.
Rindu Malam. Malam semakin rindu. Malam membuat jiwa beradu.
" Cermah yang membuat kita untuk mengingat ulang orang tua kita yang dulu hidup rukun dengan tetangga kita yang berbeda agama," kata Bahar yang masih duduk di masjid ketika jemaah sudah bubar usai mendengarkan ceramah.
" Karena pemahaman agama yang diberikan, dulu istilah kafir jarang disebutkan," kata yang lain.
Berkisah pula Amir, " saya masih ingat di tahun tujuhpuluhan kakekku berteman akrab dengan pendeta Kristen, sering memutarkan film bisu hitam putih yang dibawakan pastor orang Belanda dan kamipun menonton bersama - sama dengan teman - teman yang juga ada warga Thionghua."
Situasi yang sudah jarang terjadi. Sudah tidak ditemukan generasi kini.
" Pak Kiyai mengajak kita tidak bertengkar karena urusan ajaran agama," ujar Bahar lagi.
Mereka pun beranjak meninggalkan masjid. Menjadikan masjid kembali sepi.
Dalam langkah meuju rumah, batin mereka rindukan masa kecil yang penuh kerukunan. Toleransi yang menjadi tuntunan.
Malam semakin larut.
Dingin mengerut tulang menjadi menggigil.
Untuk hidupkan kerukunan kembali terpanggil.
Sungailiat, 17/11/2017