Mohon tunggu...
RUSTAM HADI
RUSTAM HADI Mohon Tunggu... Pengajar yang ingin Selalu Belajar dan Belajar Selalu

Hobi Menulis, ada 6 buku dan beberapa artikel yang dimuat di jurnal ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengelola Pendidikan: Seperti Tukang Kebun yang Merawat Bibit di Segala Musim

24 September 2025   19:37 Diperbarui: 24 September 2025   19:37 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pribadi Penulis sebagai Narasumber Diklat Pembelajaran Mendalam 

Mengelola pendidikan ibarat seorang tukang kebun yang dengan penuh dedikasi merawat bibit agar tumbuh dan berkembang, apa pun musim yang dihadapi. Pendidikan adalah proses panjang yang membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan adaptasi terhadap berbagai tantangan, sebagaimana seorang tukang kebun menghadapi musim hujan, kemarau, atau badai. Dalam konteks ini, bibit adalah peserta didik, tanah adalah lingkungan belajar, dan tukang kebun adalah pendidik serta pengelola pendidikan yang berperan memastikan pertumbuhan optimal. 

Seorang tukang kebun tidak hanya menanam bibit, tetapi juga memahami karakteristik tanah, iklim, dan kebutuhan setiap tanaman. Demikian pula, pengelola pendidikan harus memahami keunikan setiap peserta didik. Menurut teori kecerdasan majemuk Howard Gardner (1983), setiap individu memiliki kecerdasan yang berbeda, seperti linguistik, logis-matematis, atau kinestetik. Pendidik, sebagai tukang kebun, harus mampu menciptakan strategi pembelajaran yang inklusif, memungkinkan setiap "bibit" berkembang sesuai potensinya. Misalnya, anak dengan kecerdasan kinestetik dapat diajak belajar melalui aktivitas fisik, sementara anak dengan kecerdasan linguistik dapat diarahkan melalui diskusi atau menulis. Musim yang berganti-ganti mencerminkan tantangan dalam dunia pendidikan, seperti perubahan kurikulum, kemajuan teknologi, atau krisis seperti pandemi. Saat pandemi COVID-19, misalnya, banyak sekolah di Indonesia terpaksa beralih ke pembelajaran daring. Data dari Kemendikbudristek (2020) menunjukkan bahwa 68% siswa mengalami kesulitan akses internet, yang menjadi "badai" bagi pendidikan. Namun, seperti tukang kebun yang tetap merawat tanaman meski cuaca buruk, pendidik dan pengelola pendidikan berinovasi dengan metode hybrid learning, modul cetak, atau pembelajaran berbasis radio komunitas di daerah terpencil. Hal ini menunjukkan pentingnya adaptasi dan kreativitas dalam mengelola pendidikan. Selain itu, tukang kebun tidak hanya fokus pada pertumbuhan tanaman, tetapi juga kesehatan ekosistem. Dalam pendidikan, ekosistem ini mencakup kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat. 

Menurut penelitian dari Epstein (2018) tentang keterlibatan keluarga dalam pendidikan, keterlibatan orang tua meningkatkan prestasi akademik siswa hingga 15%. Pengelola pendidikan perlu membangun komunikasi yang kuat dengan orang tua, misalnya melalui program pelatihan atau forum diskusi, agar "bibit" mendapat nutrisi dari rumah dan sekolah. Namun, tantangan lain adalah kesenjangan sumber daya, seperti kurangnya fasilitas di daerah terpencil. Data UNESCO (2021) menyebutkan bahwa 60% anak di negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak memiliki akses ke pendidikan berkualitas. 

Seperti tukang kebun yang harus memanfaatkan sumber daya terbatas untuk menyiram tanaman, pengelola pendidikan harus memaksimalkan sumber daya yang ada, seperti memanfaatkan teknologi sederhana atau melatih guru lokal untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Pada akhirnya, mengelola pendidikan adalah tentang ketekunan dan visi jangka panjang. Seperti tukang kebun yang menanti bibit menjadi pohon besar, pendidik harus percaya bahwa setiap usaha akan membuahkan hasil. Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan adalah proses pembebasan, bukan sekadar transfer pengetahuan. Dengan pendekatan yang humanis dan adaptif, pengelola pendidikan dapat memastikan setiap bibit tumbuh menjadi individu yang berkontribusi bagi masyarakat. 

Referensi: 

1. Gardner, H. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Basic Books. 

2. Kemendikbudristek. (2020). Laporan Pembelajaran Jarak Jauh di Indonesia. 

3. Epstein, J. L. (2018). School, Family, and Community Partnerships. Routledge. 

4. UNESCO. (2021). Global Education Monitoring Report. 

5. Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun