Berabad-abad yang silam, Kadipaten Tuban merupakan jantung perdagangan bagi kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Tercatat dalam sejarah, mulai dari Kerajaan Kahuripan (Erlangga), Singosari dan Majapahit, semua menjadikan Pelabuhan Kambang Putih sebagai urat nadi  perekonomiannya. Namun semenjak pemberontakan Sutawijaya (Mataram) terhadap Pajang, dimana Tuban lebih memilih berpihak kepada Pajang, maka secara lambat tetapi pasti kadipaten di pesisir utara ini bagaikan lentera yang kian redup cahayanya. Konon di samping karena adanya pendangkalan laut di sekitar Kambang Putih juga karena kebijakan "bumi hangus" oleh raja-raja Mataram terhadap lawan-lawan politiknya.
Dengan jebolnya benteng Kumbokarno sebagai benteng kebanggaan rakyat Tuban itu (+1618), maka Mas Hario Dalem (Adipati ke 17) sebagai pewaris trah Ronggolawe segera melakukan perang gerilya.Â
Dia mendirikan perkemahan di hutan Jenggala dan dibantu oleh para pengawal setianya, ialah Ki  Senggara dan Ki Panitis yang merupakan adik seperguruan mendiang Adipati Hario Pemalat (Ayahanda Hario Dalem). Menurut catatan yang ada,  Hario Pemalat adalah menantu Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang) yang saat mudanya bernama Jaka Tingkir.
Matahari sore masih bersinar ketika terjadi perdebatan penting antara Ki Panitis dengan Mas Hario Dalem. Orang tua itu menyarankan agar adipati yang bergelar Benteng Surolawe segera berdamai dengan pimpinan Mataram, namun tentu saja segera ditolak oleh sang adipati.Â
(Bersambung)