Catatan ringan dari seminar: “Memahami Kekerasan Seksual Pada Anak”
Seorang ibu bercerita dengan nada prihatin, tentang masalah pelecehan seksual yang dihadapi anak gadisnya (9). Masih dengan terbata-bata, dia mengisahkan ihwal mula apa yang dialami anaknya. “Anak gadis saya berteman dengan seorang gadis lain, berusia 11 tahun. Awalnya biasa saja, tapi kemudian temannya itu mulai meraba-raba dirinya, bahkan bercerita tentang oral seks, pada dirinya. Sebagai orangtua saya merasa kaget dan tak tahu harus bagaimana bertindak.”
Demikian salah satu lontaran, dari beragam kegelisahan orangtua, pendidik dan pendamping anak-anak, dalam perjumpaan seminar sehari tentang “Memahami Kekerasan Seksual Pada Anak,” bertempat di gedung Yustinus, lt.14, Kampus Unika Atma Jaya, Jakarta (18/2).
Kegiatan seminar yang digagas oleh Rumah Shine, Jakarta, ini, cukup mendapat perhatian dan respon dari berbagai kalangan. Setidaknya sekitar 120 orang hadir dalam kesempatan tersebut.
Masalah pelecehan seksual (abuse), menurut Prof. Irwanto, Phd., salah satu nara sumber pertemuan tersebut, memang bukanlah sebuah fenomena baru. Bahkan fenomena lama yang dari waktu ke waktu semakin besar gaungnya. “Abuse terjadi karena adanya kesempatan!” tegas Guru Besar di Unika Atma Jaya, yang juga menjabat sebagai co-Director Lembaga Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSKA).
Kesempatan itu tercipta, papar Irwanto lebih lanjut, karena adanya stigma orangtua, yang percaya bahwa orang lain tidak akan menyakiti anak mereka. Karena hal tersebut, orangtua bebas meninggalkan anaknya saat berada di mall; membiarkan anaknya berdua dengan gurunya yang berlainan jenis di ruang tertutup; membiarkan anaknya ikut dalam berbagai kegiatan yang menonjolkan tubuh; bebas menitipkan anaknya pada tetangga atau saudara; dan sebagainya.
Selain itu, urai Irwanto lanjut, ledakan teknologi dewasa ini, membuat anak-anak semakin cepat untuk belajar dan menjadi sangat canggih. Termasuk di dalamnya anak-anak bebas memperoleh kemudahan melihat dan belajar tentang pengetahuan seks melalui teknologi yang ada itu. Di sisi lain, orangtua tak paham dengan perkembangan teknologi yang ada (gaptek), sehingga tak bisa mendampingi anak-anaknya terhadap dampak teknologi yang terjadi. Tambah lagi, negara seakan-akan tak berdaya dengan teknologi yang berkembang, meski sebenarnya mereka bertindak sebagai provider.
“Gaya hidup yang semakin tinggi ini,” ungkap Irwanto, yang pernah menjabat sebagai Komisaris Komnas HAM Anak, “juga persoalan seks, tidak bisa dipelajari sendiri oleh anak-anak, mereka butuh supervisor. Tapi yang ada, mereka mempraktikkan abuse pada kawan yang lemah,” ucapnya dengan nada prihatin.
PENDIDIKAN SEKS MELALUI LEMBAGA PENDIDIKAN
Menyikapi permasalahan abuse terhadap anak-anak, Matthew Turner, M.Ed., Counselor di Jakarta International School (JIS), narasumber lain dalam seminar ini mengungkapkan, memang perlu dan penting diberikannya pendidikan seks dan kesehatan pada anak sejak dini. Mengajarkan anak-anak untuk berkata “Tidak!”
Lebih lanjut, Matthew yang berpengalaman mengajar sekitar 18 tahun di berbagai negara ini, menerangkan bahwa biasanya anak-anak yang pernah mengalami abuse akan memiliki perubahan perilaku. Di antaranya: adanya perubahan sikap dari ceria menjadi sedih; dari sedih menjadi sangat ceria; menangis tanpa alasan yang jelas; ingin bunuh diri, dsb..