"Kalau ketahuan, akan kupenggal leher malingnya!" kata Ki Jahro sambil mengacungkan golok. Sesaat kemudian tetangga-tetangga terdekatnya menghampiri.
"Sabar, Ki...! Bukan milik, mungkin...!" Den Suadma, cucunya, berusaha menenangkan.
"Enak saja kamu ngomong sabar!" setengah membentak. "Bukan ayam sembarangan, tahu!"
Den Suadma dan tetangganya pergi menjauh. Mereka pikir percuma juga ditenangkan kalau hati Ki Jahro terus dikuasai nafsu.
Malam itu juga lewat pengeras suara masjid, Pak RT mewanti-wanti warganya untuk berhati-hati dan waspada terhadap maling yang mulai meresahkan kampungnya.Â
Dalam catatannya, Ki Jahro adalah korban ketiga setelah dua warganya malam kemarin kehilangan ayam juga. Dia berdoa agar kejadian serupa tak terulang lagi.Â
Malam itu banyak warga yang sengaja tak tidur. Mereka berjaga-jaga. Siapa tahu ada kejadian lagi. Aman. Tak ada gelagat dan kejadian apa-apa sampai pagi menjelang.
Matahari telah sepenggal. Pak Jumanta selaku RT sudah siap menuju rumah Ki Jahro. Dia akan mencatat kejadian tadi malam sebagai bahan laporan kehilangan. Dia pikir kurang baik jika ditanyakan tadi malam saat Ki Jahro sedang dikuasai amarah. Bisa-bisa dia yang akan kena semprot.Â
Sesampainya di rumah Ki Jahro. Suasana tampak sepi. Beberapa kali dia mengetuk pintu dan memberi salam tak ada jawaban. Ma Edoh, istrinya, juga tak kelihatan. Rumah tampak kosong. Tetangga terdekatnya tak ada satu pun yang tahu. Akhirnya Pak RT pulang.Â
Di dalam rumah, Ki Jahro dan istrinya sengaja tak keluar rumah. Diam tak bersuara semenjak terdengar Pak RT Jumanta mengetuk pintu rumahnya. Baru tadi subuh Ki Jahro tersadar... bahwa tak pernah memiliki ayam. ***