Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Tapa Tepe", Aksi Unjuk Rasa antara Rakyat dan Pemimpinnya

18 April 2018   10:20 Diperbarui: 18 April 2018   10:31 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: info.co.id

Suatu hari, seratusan wong cilik beramai jalan tanpa alas menuju alun-alun depan Keraton Yogyakarta. Waktu itu belum tengah hari, namun cahaya langit terasa sudah membakar kepala. Dari jauh, jalan tampak seperti digenangi air, yang membuat telapak kaki seolah ingin melepuh ketika melewatinya. Tapi itu tak membuat surut niat mereka.

Tekad telah mengepal di dalam hati mereka untuk menghadap atau sowan kepada Sultan. Para wong cilik itu punya uneg-uneg yang ingin disuarakan kepada raja atau pemimpinnya itu. Sesampainya di sana, mereka lalu duduk bersila di atas tanah alun-alun. Tanpa suara mereka cukup lama bersila di bawah sengat matahari.

Aksi berjemur diri di alun-alun itulah cara mereka menyampaikan aspirasi dan tuntutan kepada pihak Keraton untuk meminta perhatian dari Sultan atas permasalahan yang dihadapi. Mereka tak perlu berteriak-teriak, apalagi bertindak yang tak perlu yang justru bisa merugikan orang lain. Cukup dengan hening dan tetap berlaku sopan, sebab mereka cukup percaya bahwa Sultan akan datang menemuinya.

Tradisi asli bangsa Indonesia, warisan leluhur yang ternyata telah mengenal demokrasi
Tradisi asli bangsa Indonesia, warisan leluhur yang ternyata telah mengenal demokrasi
Itulah aksi tapa tepe yang telah lama dikenal masyarakat, khususnya Yogyakarta dan Surakarta. Karena sudah menjadi cara menyampaikan pendapat, maka pihak Keraton akan langsung menyambutnya. Jika bukan Sultan sendiri, maka seorang utusanlah yang diminta menemui mereka. Sultan pun tak segan menampung uneg-uneg mereka dan segera mencarikan solusinya.

Aksi protes atau unjuk rasa yang seperti kita kenal sekarang sudah ada juga pada zaman dahulu. Setidaknya sejak zaman kerajaan. Sebagai penguasa sekaligus pemimpin yang adil, Sultan tidak melarang rakyatnya untuk menyampaikan keluh kesahnya secara langsung. Meskipun apa yang disampaikan bertentangan dengan kebijakannya, Sultan tetap menghormati hak-hak rakyatnya.

Unjuk rasa seperti itu bisa dilakukan seorang diri atau beberapa orang saja, sering juga disebut pisowanan alit. Biasa juga dilakukan masyarakat secara kolektif atau beratus bahkan beribu orang. Ketika aksi seperti itu dilakukan besar-besaran, maka masyarakat Jawa mengistilahkannya dengan sebutan pisowanan ageng.

Berbagai sumber tertulis pun telah memaparkan adanya tradisi ini. Seperti Langit Kresna Hariadi, penulis buku tentang Patih Gajah Mada, menyebut dalam tulisannya tradisi tapa tepe di zaman Kerajaan Majapahit. Selain itu, Pisowanan Alit 1, buku terbitan LKiS yang ditulis oleh Herman Sinung Janutama, pun menjelaskan bahwa tapa tepe dilakukan oleh rakyat baik perorangan maupun kelompok yang bahkan bisa dilakukan hingga berhari-hari.

Tapa tepe, inilah satu tradisi asli bangsa Indonesia. Demonstrasi asli warisan leluhur yang ternyata telah mengenal demokrasi. Aksi unjuk rasa yang mengedepankan sikap saling menghormati dan menghargai antara rakyat dan pemimpinnya. Cara protes, menuntut, menyampaikan keberatan dan ketidaksetujuan, yang sepenuhnya disadari untuk tetap jauh dari kekerasan dan keberingasan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun