Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Astronaut Rentan Mengalami Kerusakan Penglihatan?

23 Februari 2018   10:00 Diperbarui: 23 Februari 2018   10:06 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto:yournewswire.com

Astronot mungkin bukan salah satu profesi populer di negeri kita. Jarang sekali ditemukan anak kecil yang berkata bahwa ia bercita-cita menjadi seorang astronot. Hal yang lazim ditemui adalah mereka bercita-cita menjadi seorang dokter, guru, polisi, atau artis. Siapa juga yang peduli tentang luar angkasa dan selimut hitam yang masih menutupi misterinya? Atau lubang hitam dan lubang cacing yang bisa memangkas perjalanan yang jaraknya tak terhingga? Atau gugusan bintang dan berbagai macam mitosnya?

Apakah anak harus disalahkan mempunyai cita-cita menjadi astronot? Namun, sudahkah Anda mendengar atau membaca tentang risikonya menjadi seorang astronot?

Meski pekerjaan sebagai seorang astronot tampak keren, banyak dari mereka harus mengalami kerusakan penglihatan setelah lama bertugas di luar angkasa.

Kondisi yang dikenal sebagai gangguan penglihatan akibat tekanan intrakanial ini menimpa dua pertiga astronot yang menghabiskan waktu lama di Stasiun Luar Angkasa Internasional.

NASA pertama kali melihat sindrom misterius ini pada 2005, ketika kemampuan melihat astronot John Phillips menurun dari 20/20 ke 20/100 setelah enam bulan mengorbit. Pemeriksaan menyeluruh mendapati bagian belakang bola mata Phillips semakin datar dan saraf optiknya meradang.

Para dokter NASA mendeteksi sesuatu yang menambah tekanan pada mata astronot, tetapi mereka tidak bisa menentukan penyebabnya. Teori paling mengemuka adalah kondisi itu berkaitan dengan penyebaran ulang dari cairan vaskular (darah dan getah bening) di dalam mikrogravitasi.

Menurut NASA, hampir 68 ons cairan - setara dua botol besar - bergeser dari tungkai kaki ke kepala astronot ketika mereka berada di angkasa luar. Mereka menduga, timbunan cairan ini meningkatkan tekanan pada otak dan akhirnya memengaruhi mata.

Kini, setelah bertahun-tahun penelitian, para ilmuwan akhirnya memastikan bahwa biang keladi sesungguhnya adalah cairan serebrospinal yang membantali otak terhadap perubahan tekanan ketika tubuh berubah posisi, seperti berdiri atau berbaring.

Nah, perjalanan ke luar angkasa mengacaukan sistem ini karena ketika orang berada di mikrogravitasi, tidak ada perubahan tekanan yang berkaitan dengan postur tubuh.

Tim ilmuwan mencapai kesimpulan ini dengan melakukan pemindaian MRI resolusi tinggi pada tujuh astronot sebelum dan segera sesudah misi panjang. Hasilnya dibandingkan dengan MRI sembilan astronot yang melakukan misi singkat.

Tujuh astronot yang telah menghabiskan berbulan-bulan di orbit memiliki volume cairan serebrospinal yang lebih tinggi di dalam rongga tengkorak di sekitar mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun