Mohon tunggu...
rudolf dayu
rudolf dayu Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Pemimpi

seorang pemimpi yang berusaha menerjemahkan hidup.... kemudian membahasakannya pada semua orang

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Cita-citaku Menjadi Penyiar

10 Desember 2015   06:19 Diperbarui: 10 Desember 2015   07:21 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Apa cita-cita kamu? Aku sendiri punya banyak sekali cita-cita. Aku pernah bercita-cita ingin mendaki gunung dan itu terwujud, bercita-cita bisa  menulis buku itu terwujud, bercita-cita menjadi sutradara sebuah pagelaran teater terwujud. Hei... bukankah hidup itu menjadi indah ketika mimpi-mimpi kecil kita terwujud. Terwujudnya mimpi-mimpi bagiku adalah hidup itu sendiri. Bukankah hidup itu sendiri merupakan sebuah perjalanan menjawab mimpi? Sebuah perjalanan mencari jawaban dari pertanyaan “Untuk apa saya hidup?” Satu mimpiku yang tersisa... Saya ingin jadi penyiar`radio.

“Frater Rudolf Dayu, MSC akan berpastoral di Radio Ureyana Cordis Saumlaki.” Demikian Pastor Superior Pst. Longginus Farneubun, MSC mengumumkan tempat pastoralku. Langsung saja otakku yang demen banget mencekokiku dengan imajinasi-imajinasi menghantarku pada khayalan diriku  di ruang siaran sebuah radio dengan headset di kepala dan sedang bercuap-cuap ditambah gambaran aku yang akan dikenal luas oleh banyak orang...”Hei... Aku seorang penyiar.” Bukankah profesi sebagai penyiar itu keren? Dan aku yakin banyak yang punya mimpi jadi seorang penyiar. Pokoknya kesemuanya itu aku simpulkan dengan kemampuan bahasa inggrisku yang di bawah standard sebagai “Dream come true” atau kalau diartikan “nyata-nyata sebuah mimpi”...he he he bercanda aku gak sebodoh itu juga, maksudnya adalah “mimpi yang menjadi kenyataan”

Ketika aku sampai di kota Saumlaki (ibu kota kabupaten Maluku Tenggara Barat), aku masih ingat aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan penjemputku. Sebuah mobil pick up bertuliskan “Ureyana Cordis” (nama dari radio tempatku berpastoral)  sudah cukup menjadi petunjuk bagiku untuk menemukan para penjemput. Jauh dari khayalan tingkat tinggiku yang sempat mengkhayalkan adanya prosesi pengalungan bunga, melintasi gelaran karpet merah diiringi tarian selamat datang oleh para penari wanita yang dipilih setelah melalui audisi ketat. Sudahlah khayalan itu aku tunda untuk nanti ketika aku menjadi Uskup (masih saja berkhayal). Setelah bersalaman dan basa basi ala orang yang pertama kali kenalan, aku kemudian masuk ke dalam mobil pick up dan dalam hati aku berteriak “Petualangan mengejar mimpi....dimulai!!!”

Sebelum menjalani masa pastoralku, pastor pembimbing pastoralku Pastor Jemmy Balubun, MSC menjelaskan tentang tahun pastoralku. Kata-kata yang sampai sekarang masih teringat adalah

“Frater bebas mau buat apa saja, intinya yang baik silahkan buat dan yang tidak baik jangan dibuat” yah...sebuah petunjuk yang singkat tetapi justru membuatku cemas. Jujur saja aku sering bermasalah dengan yang namanya kebebasan. Masih teringat ketika aku diberi kebebasan oleh orang tuaku ketika mengenyam pendidikan dan harus pisah dari orang tua, kuliahku benar-benar hancur. Aku tak pernah ke kampus, uang untuk kuliah kupakai untuk foya-foya. Kini kebebasan kembali ditawarkan kepadaku...hmmm...ya sudah nanti kita lihat bagaimana aku dan kebebasanku.

Aku bukan penulis dan pencerita yang baik...mungkin gak runtut, gak sistematis dan bukan tata bahasa yang baik tulisanku ini, jadi intinya apa yang aku ingat aku ceritakan, apa yang aku ceritakan aku tuliskan dan apa yang aku tuliskan semoga kalian baca...yuk kita mulai kisah-kisah dalam tugas pastoralku sebagai penyiar.

Jenuh

“107,7 MHz bersama saya Fr. Rudolf Dayu dalam programa...”  itulah opening yang sering  aku gunakan ketika membuka sebuah program acara di radio. Tiap hari kalimat itu mungkin bisa puluhan kali aku ucapkan. Pada awal tentunya aku mengucapkan kalimat  itu dengan penuh semangat dan ngerasa keren aja ngucap kalimat itu. Pada awalnya penuh semangat dalam menyiar, gimana tidak sesuatu yang sejak lama diimpi-impikan kemudian terwujud... perasaan itu bisa digambarkan ibarat kata kita kembali berjumpa dengan semut yang sama dengan semut yang setahun lalu kita jumpai. Namun lama kelamaan ternyata aktivitas menyiar itu menjenuhkan. Bayangin kita harus bercuap-cuap bisa 1-2 jam ditambah lagi pikiran ada gak orang yang mendengar plus yang kita hadapi cuma seonggok microphone dan bukannya mahkluk yang bernafas. Hal itu kemudian berulang tiap harinya, harus diakui mimpi menjadi penyiar ternyata bukan motivasi yang kuat untuk kita bisa menyiar dengan baik. Perlu sebuah motivasi yang kuat aku rasa. Sampailah diriku pada pertanyaan... untuk apa aku menyiar? Aku ingat motto dari Radio Ureyana Cordis “menghadirkan hati baru untuk dunia baru” yah aku sadar seharusnya inilah yang menjadi alasan kuat bagiku. Aku ingin terlibat dari usaha radio yang adalah pengejawantahan visi tarekat MSC yakni sebisa mungkin kehadiran radio mempunyai dampak perubahan bagi para pendengarnya. Menyiar dengan baik adalah salah satu bentuk keterlibatanku  atas usaha itu. Tentunya tetap dengan keyakinan bahwa “penyiar itu keren” he he he.

Sombong

Salah satu hal yang kayaknya melekat pada harapan menjadi seorang penyiar adalah dikenal banyak orang. Tapi sayang kadang otakku yang sering malas mikir gagal paham bahwa menyiar itu yang dikenal itu suaranya dan bukan wajahnya. Suatu ketika diriku hendak menyebrang jalan untuk berbelanja di warung depan biara. Saat hendak menyebrang, dari kejauhan ada seseorang melambaikan tangan kepadaku. Aku yang sadar tentang identitas diriku sebagai penyiar ditambah statusku sebagai seorang frater di daerah yang mayoritas beragama Katolik punya pandangan pastilah banyak orang mengenalku. Demikian dengan sosok di kejauhan dengan motornya ini pastinya ia mengenalku entah aku sebagai penyiar entah aku sebagai frater. Sosok itu semakin lama semakin mendekat dan akhirnya ia berhenti tepat di depanku. Sosok itupun kemudian berkata,

“Mas Ojek?”  aku langsung beku dengar kata orang itu, aku gak merasakan eksistensiku, aku seonggok batu ah bukan aku sejenis tumbuhan perdu ah entahlah aku apa intinya aku berdoa dipindahkan ke planet pluto itupun kalau pluto masih dianggap planet. Intinya kita gak boleh sombong apapun identitas kita, pada suatu saat kita akan berjumpa dengan orang yang tidak mengenal kita, tidak tahu siapa kita dan tidak butuh tahu tentang kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun