Mohon tunggu...
Rudi Santoso
Rudi Santoso Mohon Tunggu... Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung II Nahdlatul Ulama

Berbuatlah sesukamu, tetapi ingatlah bahwa engkau akan mati...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yurisprudensi di Era Hukum Digital

29 Juni 2025   12:59 Diperbarui: 29 Juni 2025   12:59 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rudi Santoso (Dosen Prodi HTN UIN Raden Intan Lampung)

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang hukum. Ruang publik kini tak lagi sekadar berbentuk fisik, melainkan juga virtual. Perbincangan, kontrak, transaksi, bahkan konflik hukum pun telah bertransformasi ke ranah digital. Di tengah realitas ini, pertanyaan penting muncul: bagaimana hukum merespons perubahan zaman, dan sejauh mana yurisprudensi mampu menjadi pemandu di era hukum digital?

Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang telah direvisi menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016, merupakan payung hukum utama dalam mengatur dunia siber. UU ini menjangkau mulai dari ujaran kebencian, pencemaran nama baik, akses ilegal, manipulasi data, hingga transaksi elektronik. Namun, seiring waktu, muncul kritik bahwa UU ITE kerap digunakan untuk membungkam kritik, mengkriminalisasi ekspresi, atau dipakai secara sewenang-wenang. Dalam situasi ini, yurisprudensi hadir sebagai jalan tengah untuk menyeimbangkan teks hukum yang kaku dengan kenyataan sosial yang cair.

Beberapa putusan penting dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mulai membentuk arah interpretasi hukum digital di Indonesia. Salah satu yang menonjol adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang, dan harus diinterpretasikan sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dalam konstitusi. Putusan ini memberikan titik tolak penting bahwa meskipun dunia digital rentan terhadap penyebaran informasi yang merugikan, hak atas kebebasan berpendapat tetap menjadi prinsip dasar yang harus dijaga.

Namun, dalam praktiknya, tidak semua hakim di tingkat pertama dan banding memiliki pendekatan serupa. Banyak putusan yang saling bertentangan, terutama dalam kasus penghinaan atau ujaran kebencian di media sosial. Ada kasus yang divonis ringan karena dinilai merupakan ekspresi kritik, namun ada pula yang divonis berat karena dinilai meresahkan masyarakat, meskipun konteksnya serupa. Ketidakkonsistenan ini menjadi cerminan bahwa sistem yurisprudensi belum bekerja optimal sebagai pedoman hukum yang hidup di tengah cepatnya perkembangan dunia digital.

Tantangan utama dalam menyikapi perkara digital adalah minimnya pengalaman dan referensi yudisial yang bisa diakses dan diandalkan oleh para hakim. Hukum digital merupakan ranah yang baru, kompleks, dan berkembang sangat cepat. Sering kali, perangkat hukum positif belum mampu menjangkau kompleksitas kasus yang terjadi. Misalnya, bagaimana hukum menyikapi penggunaan deepfake dalam pencemaran nama baik? Bagaimana menentukan batas tanggung jawab platform digital dalam penyebaran konten hoaks? Atau bagaimana membedakan antara kritik politik dengan ujaran kebencian dalam konteks pemilu di media sosial? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memerlukan lebih dari sekadar pembacaan normatif pasal undang-undang. Diperlukan pendekatan hermeneutis dan kontekstual, yang bisa dibentuk lewat akumulasi yurisprudensi.

Di tengah situasi ini, keberadaan yurisprudensi teknologi menjadi sangat penting. Yurisprudensi dapat menjadi alat pembentuk hukum (judge-made law) yang dinamis dan kontekstual. Ia menjadi jembatan antara perubahan sosial dan stagnasi legislasi. Dalam hukum digital, perubahan teknologi berjalan jauh lebih cepat dibanding perubahan undang-undang. Maka, yurisprudensi menjadi satu-satunya jalan yang memungkinkan hukum tetap relevan dan adil.

Namun, tantangan besar muncul dalam membentuk yurisprudensi yang dapat diandalkan di bidang hukum digital. Pertama, sistem dokumentasi dan publikasi putusan belum sepenuhnya optimal. Banyak putusan yang penting tidak terdigitalisasi dengan baik, tidak tersedia secara terbuka, atau tidak disajikan dalam format yang mudah ditelusuri. Kedua, belum ada mekanisme resmi yang menjadikan suatu putusan sebagai yurisprudensi tetap di bidang teknologi informasi. Padahal, jika Mahkamah Agung secara aktif memilih dan menyebarkan putusan-putusan strategis dalam perkara digital, hal itu bisa menjadi pedoman yang kuat bagi hakim-hakim lain dalam menangani kasus serupa.

Ketiga, penguatan kapasitas hakim dalam memahami teknologi digital juga menjadi keharusan. Hukum digital bukan sekadar soal pelanggaran pasal, melainkan soal memahami budaya internet, algoritma media sosial, pola penyebaran informasi, serta relasi kekuasaan di balik platform digital. Seorang hakim tidak cukup hanya paham teks undang-undang, tetapi juga harus mampu membaca ekosistem digital secara holistik. Pelatihan, diskusi lintas disiplin, dan dialog dengan para ahli teknologi perlu menjadi bagian dari sistem pembinaan hakim di era digital.

Keempat, dalam membentuk yurisprudensi teknologi, penting untuk melibatkan perspektif hak asasi manusia. Dunia digital adalah ruang baru bagi ekspresi, interaksi, dan partisipasi warga. Jika pendekatan hukum dalam dunia fisik diterapkan secara kaku di dunia digital, maka akan terjadi pembatasan kebebasan sipil yang tidak proporsional. Oleh karena itu, yurisprudensi harus menjadi penyeimbang antara perlindungan hak digital dan kebutuhan untuk menjaga ketertiban publik. Dalam banyak negara, pendekatan ini dikenal sebagai prinsip "freedom with responsibility" yang mengedepankan perlindungan hak dengan tetap menjamin keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun