Mohon tunggu...
Rudi Gunawan
Rudi Gunawan Mohon Tunggu... Jurnalis

Penulis kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bayang-Bayang Konflik di Tanah Rencong: Rampasan Lahan dan Diskriminasi Pra-Tsunami

15 Agustus 2025   19:09 Diperbarui: 15 Agustus 2025   22:27 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Aceh pada masa puncak konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebelum bencana tsunami 2004, kehidupan masyarakat di pedesaan sering dibayangi rasa takut. Di tengah ketegangan politik dan keamanan yang terus memanas, konflik tersebut tidak hanya terjadi di medan tempur, tetapi merembes ke ranah sosial dan ekonomi masyarakat sehari-hari. Salah satu dampak paling terasa adalah rampasan lahan pertanian "sawah dan ladang" yang menimpa warga, khususnya mereka yang dianggap "bukan orang asli" atau pendatang.

Rampasan ini kerap dilakukan oleh kelompok bersenjata yang mengatasnamakan perjuangan, dengan alasan bahwa tanah tersebut merupakan milik adat atau hasil perampasan kolonial yang harus "dikembalikan" kepada rakyat Aceh. Namun, dalam praktiknya, tanah-tanah tersebut justru diambil alih dan dikuasai pihak tertentu. Banyak pendatang yang telah menetap puluhan tahun di Aceh mendapati lahan garapannya diambil begitu saja tanpa ganti rugi.

Diskriminasi terhadap suku pendatang semakin terasa di wilayah-wilayah pedalaman dan perbatasan. Orang-orang dari suku Jawa, Batak, Minangkabau, hingga Bugis kerap menjadi sasaran intimidasi. Mereka dicurigai sebagai kaki tangan pemerintah pusat atau TNI, dan karena itu dianggap tidak berhak memiliki tanah di Aceh. Stigma ini membuat banyak keluarga pendatang hidup dalam keterasingan sosial.

Para pendatang sering dipaksa menandatangani surat penyerahan lahan, dengan ancaman kekerasan jika menolak. Ladang kopi, kebun kelapa sawit, hingga petak-petak padi menjadi rebutan. Situasi ini menyebabkan banyak keluarga terpaksa meninggalkan tanah kelahiran kedua mereka dan mengungsi ke daerah lain yang lebih aman.

Tak hanya lahan yang dirampas, hasil panen pun kerap dipotong paksa. Beberapa petani mengaku harus menyerahkan sebagian besar gabah atau kopi kepada pihak bersenjata sebagai "pajak perjuangan." Jika menolak, ancamannya bisa berupa penyiksaan, pembakaran rumah, atau bahkan penculikan. Hal ini menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus di tengah konflik berkepanjangan.

Selain itu, kelompok bersenjata GAM juga kerap merampok kendaraan milik pendatang dari luar Aceh di perbatasan dengan Sumatera Utara. Mereka terutama menyasar orang yang tidak memiliki KTP Aceh, yang akan dimintai "pajak jalan" dengan nominal besar. Jika menolak, harta benda mereka dirampas secara paksa. Mobil boks, kontainer, atau pikap berisi barang dagangan menjadi target utama. Barang-barang yang seharusnya dijual di Aceh kerap habis dirampas, meninggalkan kerugian besar bagi para pedagang.

Bagi generasi muda pendatang saat itu, diskriminasi bukan hanya soal harta benda. Mereka menghadapi keterbatasan akses pendidikan dan kesempatan kerja. Banyak sekolah di pedesaan tutup akibat konflik, sementara pekerjaan di perkebunan atau proyek desa lebih mengutamakan orang lokal yang memiliki hubungan kekerabatan dengan aparat GAM setempat.

Situasi ini membentuk jurang pemisah yang semakin lebar antara masyarakat Aceh asli dengan pendatang. Rasa saling curiga menjadi pemandangan sehari-hari, dan gotong royong yang dulunya menjadi ciri khas desa di Aceh nyaris hilang. Hubungan sosial membeku, digantikan oleh pembatasan, larangan, dan tatapan penuh kewaspadaan.

Ironisnya, di tengah ketegangan itu, masih ada segelintir tokoh masyarakat lokal yang berusaha melindungi pendatang. Mereka menggunakan pengaruhnya untuk mencegah kekerasan atau meredam rampasan lahan. Namun jumlah mereka sedikit, dan pengaruhnya terbatas ketika berhadapan dengan kelompok bersenjata.

Semua peristiwa pahit ini kemudian terkubur oleh gelombang dahsyat tsunami Desember 2004. Bencana itu memang menghentikan kontak senjata untuk sementara, namun kisah tentang perampasan lahan dan diskriminasi sebelum tsunami jarang terdokumentasikan secara resmi. Banyak korban memilih diam, entah karena trauma atau takut membuka luka lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun