Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Narasi MBG yang Menyesatkan Akal dan Menyakitkan Hati

13 Oktober 2025   22:38 Diperbarui: 13 Oktober 2025   22:38 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (CNN Indonesia)

Narasi MBG yang Menyesatkan Akal  dan Menyakitkan Hati

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diperkenalkan dengan semangat besar sebagai upaya memperbaiki gizi anak bangsa. Secara ideal, program ini ingin memastikan tidak ada anak sekolah yang belajar dalam keadaan lapar. Namun, dalam praktiknya, narasi yang muncul di ruang publik justru berlebihan dan cenderung menyesatkan. MBG diklaim sebagai penentu utama tumbuh kembang dan kecerdasan anak-anak kita. Klaim seperti ini tidak hanya keliru secara ilmiah, tetapi juga menyinggung nurani banyak orang tua yang setiap hari berjuang memberi makan, mengasuh dan mendidik anaknya tanpa pamrih. Program yang baik akan kehilangan maknanya bila dibungkus dengan narasi politis yang salah.

Kebutuhan makan anak-anak bukan satu kali sehari, melainkan tiga kali dengan tambahan gizi penunjang di sela-sela waktu. Tubuh anak yang sedang bertumbuh memerlukan energi dan nutrisi yang seimbang sepanjang hari. Karena itu, tidak rasional bila satu kali makan dari MBG dikatakan mampu memenuhi seluruh kebutuhan tumbuh kembang anak. Ilmu gizi sendiri mengajarkan bahwa keseimbangan nutrisi tidak ditentukan oleh satu porsi, tetapi oleh pola makan harian yang konsisten. Maka, membangun klaim bahwa MBG menjadi kunci utama perkembangan anak adalah bentuk penyederhanaan yang berlebihan. Narasi semacam itu mengabaikan kompleksitas proses biologis dan sosial dalam pertumbuhan manusia.

Kami, generasi yang lahir sebelum era MBG, tumbuh besar tanpa program serupa dan tetap mampu belajar, berpikir, serta berprestasi. Orang tua kami memberi makan dari hasil kerja keras sendiri, tanpa berharap bantuan negara. Lauk kami sederhana, tetapi nilai yang ditanamkan luar biasa: disiplin, rasa hormat, dan tanggung jawab. Dari kesederhanaan itulah lahir generasi yang mandiri dan tahan uji. Tidak ada MBG yang membentuk kami, melainkan kasih dan teladan orang tua. Karena itu, kami tahu benar bahwa kecerdasan anak tidak pernah lahir dari program, melainkan dari nilai-nilai yang hidup di rumah.

MBG memang bisa bermanfaat jika dijalankan secara wajar dan transparan. Ia dapat membantu anak-anak dari keluarga miskin agar tidak belajar dalam keadaan lapar. Namun manfaat ini bersifat tambahan, bukan pokok. MBG seharusnya menjadi pelengkap dari tanggung jawab utama keluarga, bukan penggantinya. Ketika narasinya berubah menjadi alat politik dan pencitraan, nilai kemanusiaan dalam program ini justru hilang. Sebab yang terpenting bukan seberapa besar bantuan diberikan, tetapi seberapa besar kejujuran dan kesadaran publik yang dibangun.

Fakta di lapangan menunjukkan banyak persoalan dalam pelaksanaan MBG. Ada laporan tentang distribusi yang tidak merata, menu yang tidak memenuhi standar gizi, hingga kasus keracunan makanan di beberapa sekolah. Bahkan, di beberapa daerah, orang tua diminta menandatangani surat pernyataan tidak akan menuntut bila anak mereka sakit setelah makan MBG. Situasi ini menggambarkan lemahnya tata kelola program yang menyangkut kesehatan anak. Ironisnya, dalam kondisi seperti itu, narasi resmi tetap menggambarkan MBG seolah-olah sukses tanpa cacat. Di sinilah kritik menjadi penting sebagai bentuk cinta terhadap kebenaran dan akal sehat.

Secara moral, narasi MBG yang berlebihan juga berisiko mengerdilkan peran keluarga. Orang tua seakan-akan tidak lagi dianggap berperan dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Padahal, keluarga adalah ruang pendidikan pertama dan utama. Di sanalah nilai-nilai kejujuran, empati, dan tanggung jawab ditanamkan setiap hari. Jika negara ingin benar-benar memperkuat bangsa, maka yang perlu didukung adalah ketahanan keluarga, bukan hanya pemberian makan. Kecerdasan sejati tidak lahir dari makanan gratis, melainkan dari kasih sayang dan bimbingan moral yang berkelanjutan.

Program MBG juga berpotensi menumbuhkan ketergantungan sosial yang tidak sehat bila tidak dikelola dengan benar. Anak-anak bisa tumbuh dengan persepsi bahwa makan adalah hak yang harus disediakan negara, bukan tanggung jawab keluarga. Ini berbahaya bagi pembentukan karakter generasi muda yang diharapkan mandiri dan produktif. Dalam jangka panjang, semangat kerja keras bisa terkikis oleh budaya instan dan mental penerima bantuan. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk menanamkan nilai-nilai tanggung jawab bersamaan dengan pelaksanaan program sosial. Tanpa pendidikan karakter, MBG hanya akan menjadi ritual makan tanpa makna.

Kita juga perlu mengingat bahwa setiap kebijakan publik harus didasarkan pada nalar ilmiah dan keadilan sosial. MBG tidak boleh dijadikan alat politik atau bahan propaganda untuk mengukur keberhasilan pemerintah. Keberhasilan sejati bukan diukur dari jumlah makanan yang dibagikan, tetapi dari kualitas manusia yang dihasilkan. Bila kebijakan bergizi tinggi tetapi narasinya miskin kejujuran, maka bangsa ini tetap lapar---lapar moral dan intelektual. Kritik terhadap MBG bukan bentuk penolakan terhadap bantuan, tetapi panggilan nurani agar kebijakan publik dijalankan secara waras dan berimbang. Dalam masyarakat yang berakal sehat, program sosial tidak boleh menggantikan tanggung jawab keluarga.

Kami para orang tua memahami bahwa memberi makan anak bukan sekadar soal gizi, tetapi juga tentang cinta dan tanggung jawab. Setiap suapan makanan di rumah mengandung makna kasih yang tidak bisa diukur dengan angka atau anggaran. Di dapur yang sederhana, ibu-ibu memupuk karakter anak-anaknya dengan doa dan ketulusan. Ayah-ayah berangkat pagi, pulang malam, demi memastikan anak-anaknya tidak hanya kenyang, tetapi juga berpendidikan. Itulah bentuk cinta sejati yang tidak pernah tercatat dalam laporan anggaran negara. Dan cinta itu tak tergantikan oleh program apa pun, termasuk MBG.

Kami akan memperlakukan anak-anak kami sebagaimana orang tua kami memperlakukan kami dulu, dengan kasih, disiplin, dan kerja keras. Kami tidak menolak bantuan, tapi kami juga tidak menyerahkan sepenuhnya masa depan anak-anak kami pada program sesaat. MBG boleh hadir, tetapi tidak boleh menghapus peran keluarga dalam membentuk generasi bangsa. Negara boleh memberi makan sekali sehari, namun keluarga lah yang menumbuhkan hati, akal, dan moral anak-anak. Bila bangsa ini ingin besar, maka perkuatlah keluarga, bukan hanya perbanyak piring makan gratis. Sebab masa depan tidak ditentukan oleh seberapa banyak nasi dibagikan, tetapi oleh seberapa dalam nilai ditanamkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun