"Ran, tolong saya, dong."
"Ada apa?"Â tanyaku ragu-ragu di telepon. Saat itu aku tengah menerjemahkan film di kamar kosanku -- salah satu pekerjaan freelance-ku. Sudah sore menjelang Magrib dan Cara, bos baruku, mendadak menelepon.
"Saya udah terlanjur daftar seminar jam tujuh malam ini,"Â katanya. "Tapi mendadak nggak bisa dateng. Tempatnya dekat kosan kamu. Kamu gantiin saya, ya?"
"Eh -- "
"Sebentar, saya kirim e-tiket sama transfer uang transport-nya, ya."Â Klik. Aku terkejap. Kupandangi ponselku.
Begitu saja, nih?
Tak lama kemudian, dua notifikasi yang sudah dijanjikan terkirim ke ponselku. Screenshot e-tiket dan transfer sejumlah uang lewat e-banking.
Sial. Judulnya aku memang harus pergi, nih. (Lebih tepatnya sih, dia yang memaksaku.) Padahal, aku belum juga bilang ya atau tidak.
Cara adalah salah satu dari dua bos di perusahaan berbasis digital tempatku baru bekerja. Kuakui, dia cerdas -- terutama dalam hal: tahu cara ngomong cepat saat meminta pegawainya untuk melakukan sesuatu. Saking cepatnya, lawan bicara sampai nyaris nggak punya kesempatan bicara.
Ya, seperti aku barusan.
Ini bukan pertama kalinya. Sebenarnya nggak apa-apa juga, sih. Selain masih termasuk hari kerja dan tempatnya memang cukup dekat, seenggaknya masih dibayar lembur juga -- meski berupa uang transport.