Lebih dari 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, terdapat berbagai macam program kerja yang tak lepas dari kritisisme yang disampaikan dari masyarakat luas. Salah satunya adalah program makan bergizi gratis (MBG) yang menggunakan anggaran sebesar 300 triliun rupiah per tahun, atau 25 triliun rupiah per bulan. Sepintas, program tersebut sangat populis, dengan sasaran anak-anak sekolah mulai dari SD hingga SMA, agar gizi para siswa yang sedang belajar selalu tercukupi. Akan tetapi, program ini memunculkan berbagai macam kritik, karena program ini berpotensi memicu adanya korupsi di kalangan Badan Gizi Nasional (BGN) dengan vendor tertentu yang membantu menyukseskan program yang dinilai ambisius ini.
Belum lagi adanya kementerian yang dibentuk oleh pemerintahan Prabowo Subianto saat ini, yang jumlahnya 53 kementerian dan 7 kementerian koordinator. Jumlah ini melebihi jumlah kementerian negara yang seharusnya, yaitu maksimal 34 kementerian, sesuai dalam UU no. 39 tahun 2008, namun ketentuan ini direvisi dalam UU no. 61 tahun 2024, dan disahkan pada bulan Oktober 2024, beberapa hari sebelum Prabowo dilantik. Namun, yang membuat tercengang dari kebijakan ini, pada bulan Februari lalu, Prabowo membuat kebijakan efisiensi dalam berbagai bidang. Kebijakan ini, dinilai oleh banyak orang, sebagai bentuk kontradiksi dengan kabinet gemuk yang dibentuk Prabowo, yang dianggap sebagai pemborosan anggaran.
Publik terpecah dalam menyikapi hal ini. Ada yang menyatakan penolakannya, bahkan ada pula yang diam, dan masih menyangkut pautkan sebuah permasalahan dengan masalah pilpres yang sudah lama berlalu. Terutama, ketika membahas tentang lemahnya indeks IHSG akibat para penanam modal menarik saham mereka dari bursa efek, para netizen di sebuah media sosial justru mengaitkannya dengan Anies Baswedan, atau yang lebih parahnya lagi, IHSG dituduh sebagai 'anak abah'. Padahal, IHSG sendiri bukanlah sebuah ormas layaknya Pemuda Pancasila, melainkan akronim dari Indeks Harga Saham Gabungan.
Hal inilah yang membuat saya membuat sebuah terminologi baru dalam konteks dinamika sosial-politik Indonesia saat ini, yaitu oke gas mentality. Jika Prof. Sukidi membuat sebuah terminologi 'Hitler Jawa' dalam memulai tulisannya di Tempo, yang di mana, ada sesosok dari Jawa yang menggunakan sebuah cara seperti yang dilakukan Hitler dalam merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah, tepatnya dari presiden saat itu, yaitu Paul von Hindenburg (tepatnya, Prof. Sukidi menggunakan metafor dalam judulnya untuk menggambarkan sebuah pelecehan terhadap demokrasi), maka saya membuat sebuah terminologi yang mengacu pada mentalitas yang dimiliki oleh 58% warga Indonesia, yaitu oke gas mentality.
Dari manakah asal-muasal istilah oke gas mentality?
Sebelum membahas ini lebih lanjut, tentunya harus mengetahui konsep silent majority terlebih dahulu, apalagi kedua terminologi ini saling berkelindan satu sama lain. Istilah ini muncul dalam sebuah pidato yang disampaikan Richard Nixon pada bulan November 1969, di saat Amerika Serikat sedang menghadapi Perang Vietnam. Di Amerika Serikat saat itu, kalangan silent majority yang menjagokan Nixon dalam Partai Republik, tidak terlibat dalam demonstrasi menentang perang berdarah melawan Viet Cong yang berujung pembantaian, tidak ikut serta dalam counterculture manapun, entah itu punk maupun kultur perlawanan yang sejenis, dan lain-lain. Mayoritas silent majority pendukung Nixon, menurut sebuah artikel jurnal yang berjudul The Conservative Lobby and Nixon's "Peace with Honor"Â in Vietnam karya Sandra Scanlon yang diterbitkan dalam Journal of American Studies, adalah para anggota Partai Republik yang memilih Nixon, yang mendukung penarikan pasukan AS secara besar-besaran dari Vietnam, dan membiarkan Vietnam Selatan berperang sendiri tanpa campur tangan sekutu terdekatnya itu (vietnamization).
Menurut artikel jurnal tersebut, sebenarnya para pendukung Nixon yang khawatir bahwa Vietnam jatuh ke tangan komunis apabila proses vietnamization terlaksana sepenuhnya, namun mereka 'didiamkan' dengan adanya serangan dari sekutu AS yang diarahkan kepada Viet Cong yang bersembunyi di Kamboja, sehingga membuat Kamboja ikut terseret dalam perang ini.
Beberapa dekade kemudian, istilah silent majority merambah ke negara lain, termasuk kawasan Hong Kong. Meskipun dalam prinsip 1 negara 2 sistem, Hong Kong diberi otonomi lebih apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah otonom yang berada di Tiongkok Daratan, akan tetapi, kubu politik yang berpihak pada pemerintahan Tiongkok Daratan di bawah pimpinan Xi Jinping lebih mendominasi Hong Kong, dibandingkan kubu pro-demokrasi maupun pro-Kuomintang. Dengan adanya silent majority yang memiliki pandangan politik pro-Tiongkok daratan, terutama kaum nasionalis yang bercokol di Hong Kong, otomatis suara yang diraih untuk kubu pro-Tiongkok daratan melejit drastis. Ketika berbagai gelombang demonstrasi di Hong Kong, sebagaimana dikutip dari newstatesman.com, para silent majority akan bergerak untuk menentang aksi demonstrasi tersebut.
Dengan adanya penjelasan tentang silent majority, hal ini saling terkait dengan istilah oke gas mentality. Mentalitas ini merujuk pada seseorang yang tahu bahwa ia terkena dampak dari kebijakan-kebijakan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka - yang terkenal dengan jargon oke gas-nya untuk menarik anak muda - yang memberatkan mereka, seperti kebijakan blunder Bahlil Lahadalia untuk mengalihkan distribusi gas elpiji 3 kg (gas melon) dari pedagang eceran ke pangkalan elpiji suatu wilayah, kenaikan PPN 12% yang salah sasaran, skandal BBM oplosan berjenis Pertamax, efisiensi yang salah arah, korupsi dari berbagai bidang seperti pengelolaan minyak dan PDNS (pusat data nasional sementara), dan lain-lain. Namun, mereka lebih memilih diam dan tidak bersuara terkait dengan kondisi mereka saat ini.