Mohon tunggu...
ROCHADI TAWAF
ROCHADI TAWAF Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fapet Unpad

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sesat Pikir Kebijakan Sapi (Opini harian Kompas, 28 Maret 2016)

5 Mei 2016   20:09 Diperbarui: 5 Mei 2016   20:16 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Jika dipertengahan tahun 2015 lalu, pemerintah dinilai ‘gagal paham’ terhadap fenomena naiknya harga daging sapi yang spektakuler sebagai akibat pemangkasan kuota impor, sehingga berdampak terhadap carut marutnya bisnis daging sapi di dalam negeri. Kini pemerintah dinilai ‘sesat pikir’ atas kebijakan peraturan pemerintah (PP) No. 4/2016 yang baru diluncurkan, dihawatirkan  kebijakan ini akan memberikan dampak buruk bagi perkembangan peternakan sapi potong di dalam negeri. Pasalnya, kebijakan ini telah direspons masyarakat peternakan sapi khususnya di Malang Jawa Timur dan Jakarta pada tanggal 17 Maret 2016 yang menolak kehadiran daging India di pasar tradisional.

PP No. 4/2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan, adalah salah satu paket kebijakan ekonomi IX yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 8 Maret 2016, ternyata telah mengundang banyak kontroversi dari berbagai kalangan.

Dalam kata pengantarnya yang disampaikan Menteri koordinator perekonomian, bahwa secara khusus kebijakan itu mengarah kepada pembukaan impor ternak dan produk ternak berdasarkan zona (zona base), bukan lagi mengacu negara (country base). Pemerintah hanya membuka impor dalam bentuk daging saja untuk mengurangi resiko dari PMK (penyakit mulut dan kuku). Langkah pembukaan keran impor daging, diambil untuk mengendalikan harga yang kerap tidak stabil.

Kebijakan ini merupakan amanat sebagai produk turunan dari UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), atas dasar hal tersebut keberadaannya sah secara yuridis. Selain itu, dalam batang tubuh PP tersebut materi nya pun berisi pengaturan mengenai pelaksanaan importasi daging dan sapi yang berasal dari negara berdasarkan zona yang dilaksanakan oleh BUMN/BUMD.

Apabila dikaji lebih mendalam dari pengantar Kemenko, jelas-jelas bahwa kebijakan ini boleh jadi kita sebut sebagai ‘sesat pikir pemerintah’. Pasalnya, kebijakan ini sesungguhnya lebih merupakan kebijakan teknis pemasukan ternak sapi/daging yang tidak memiliki pengaruh langsung dan bukannya kebijakan penurunan harga daging sapi.

Jika dicermati dari aspek yuridis terbitnya PP ini, yang cantolannya UU No. 41/2014 tentang PKH, kini masih dilakukan uji materi di MK. Maka  implementasi PP ini masih harus menunggu keputusan MK. Seperti diketahui bahwa, frasa zona base yang diuji pada pasal 59 UU No. 18/2009 tentang PKH di tahun 2009, MK telah memutus melalui Keputusan No. 137/PUU-VII/2009yang sangat meyakinkan,bahwa materi pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, materi yang sama muncul kembali dalam UU No. 41/2014 tentang PKH pada pasal 36.  Jika saja MK mengabulkan permohonan uji materi ini, dengan sendirinya PP ini tidak akan berlaku.

Selanjutnya, secara teknis materi dari batang tubuh PP ini, ternyata hanya mengatur dari aspek tatacara masuknya komoditi sapi/daging sapi serta proses distribusinya diatur oleh kelembagaan yang diserahkan kepada BUMN/BUMD. Apabila dilakukan analisis terhadap materi ini, penulis sangat yakin bahwa kebijakan ini tidak akan memberikan dampak langsung atau pengaruh terhadap perubahan harga daging sapi.

 Pasalnya, harga daging sapi dapat terbentuk atas tiga hal pokok. Pertama, dalam situasi pasar persaingan sempurna, harga terbentuk melalui mekanisme pasar, dimana kekuatannya tergantung kepada ketersediaan dan kemampuan daya beli konsumen. Kedua, harga dapat dikendalikan atas dasar intervensi kebijakan pemerintah. 

Jika kebijakan kedua ini akan digunakan sebagai pengendali harga daging, seharusnya PP tersebut mengatur dengan jelas mengenai pola intervensinya. Dan ketiga, bahwa harga dapat dibentuk dengan kekuatan penentuan kebijakan pemerintah, seperti contoh yang dilakukan terhadap murahnya harga daging sapi oleh pemerintah di Malaysia, yang selama ini diacu oleh Jokowi. Sedangkan diketahui bersama, bahwa harga daging yang berlaku di negeri ini diserahkan kepada mekanisme pasar.

Apabila dilihat materi distribusi selanjutnya  terhadap importasi daging yang akan diimpor, ternyata akan terkendala oleh kebijakan Impor daging yang selama ini telah diatur, yaitu bahwa importasi daging hanya untuk daging industri yang boleh masuk ke pangsa pasar horeka (hotel, restoran, katering) dan Industri daging, sementara  pasar tradisional yang merupakan pasar konsumen rumah tangga dilindungi oleh permendag 46/2013 pasal 17. Sesungguhnya, kebijakan perlindungan pasar becek bagi pangsa pasar daging lokal sudah sangat tepat, jika ini diintervensi tentu yang akan dirugikan adalah peternak sapi potong rakyat.  Hal inilah yang mengundang respons negatif dari para peternak sapi potong rakyat, yang merasa khawatir akan pangsa pasarnya didistorsi oleh kebijakan impor ini.

Harga daging sapi sejatinya ditentukan juga oleh mekanisme bisnis daging sapi di dalam negri. Dari seekor sapi, akan didapatkan setidaknya ada empat jenis potongan daging yang berlaku di pasar tradisional sebagai berikut; Daging berkelas berada disekitar punggung. Misalnya, tenderloin dan sirloin yang lebih dikenal dengan nama lokal, has luar dan dalam. Kualitas daging ini termasuk kelas satu, sementara kelas dua berada di paha belakang, kelas tiga berada di kaki depan dan kelas empat berada dibawah perut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun