Berbagai media telah melansir dalam minggu ini, ternyata akhirnya Pemerintah telah melakukan importasi daging dari India. Patut kita ucapkan, “Selamat datang daging India di negeri pemberani,” dalam menghadapi dampak ancaman teknis, sosial dan ekonomi terhadap kebijakan ini.
Pasalnya sejak dikumandangkannya program swasembada daging sapi di tahun 1995 hingga kini, ternyata pemerintah masih belum berhasil mencapai target tersebut. Kini di era pemerintahan Jokowi, pencanangan program swasembada daging sapi dibarengi dengan keinginan bahwa idealnya harga daging sapi adalah Rp 80 Ribu/Kg.
Sesungguhnya, beliau sendiri membuktikan bahwa harga daging di negara tetangga jauh lebih murah daripada di negeri ini. Jokowi mengatakan akan menggunakan jurus 'jungkir balik' guna menurunkan harga daging tersebut, yang hingga kini masih bertengger di kisaran Rp 115 ribu/Kg.
Bisnis Feedlot Porak-poranda
Berbagai kebijakan pemerintah yang dilakukan untuk menurunkan harga daging sapi tersebut telah memporakporandakan iklim bisnis sapi potong; sejak perusahaan feedlot disatroni Bareskrim, diadili di KPPU, daging impor ilegal marak. Namun pelakunya tidak ditindak, sedangkan daging sitaannya dibagikan ke masyarakat, hingga merubah kebijakan impor dengan membuka seluas-luasnya impor daging sapi dan jeroan impor.
Bahkan di ujung, akhirnya pemerintah telah pula mengeluarkan izin impor daging India serta ada keinginan pula untuk merombak seluruh tatanan kebijakan perundangan sampai dengan seluruh kebijakan operasionalnya. Sepertinya negeri ini ingin seperti negara tetangga yang tidak perlu ketentuan bebas penyakit PMK yang seolah-olah tak ada gunanya buat rakyat negeri ini.
Berbagai kebijakan tersebut telah pula berakibat negatif terhadap beberapa perusahaan feedloter yang menutup usahanya. Dampaknya bukan hanya bagi bisnis feedlot di dalam negeri, namun telah berdampak pula terhadap perubahan tatanan bisnis global daging dan sapi impor di kawasan Asia Pasifik. Bahkan lebih dari itu, bisnis feedlot dicurigai sebagai bisnis 'persekongkolan jahat' penyebab harga tinggi dan mereka dituduh telah menikmati keuntungan berlebih (excessif profit).
Daging India
Pada kasus importasi daging India, pemerintah telah menyiapkan berbagai regulasinya, sejak PP No. 4/2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan. Kebijakan ini merupakan salah satu paket kebijakan ekonomi IX yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 8 Maret 2016, hingga kebijakan operasional di bawahnya yaitu SK Mentan No.2556/2016, di mana materinya mengenai membuka keran impor daging dari India melalui kompartemen (unit usaha).
Terlepas dari kesemua aturan kebijakan dan berbagai cantolan hukum lainnya yang masih berada di Mahkamah Konstisusi. Faktanya daging dari india telah masuk ke dalam negeri dan harga daging akan berkisar Rp 65 ribu/Kg. Distribusinya dirancang hanya untuk Jakarta. Namun, siapa yang akan menjamin distribusinya tidak akan rembes ke wilayah lain? Jika ini terjadi, yang akan menjadi korban pertama adalah petani miskin peternak rakyat yang hidup di perdesaan. Sementara konsumen daging sapi yang berasal dari kelompok menengah atas yang hanya 16 % dan hidup di kota akan sangat menikmatinya.
Prinsip Lalu Lintas Ternak
Penulis pernah bertanya kepada seorang dokter hewan tentang lalu lintas ternak antar wilayah. Sungguh jawabannya sangat mengagetkan sebagai berikut; bahwa pada saat dia kuliah di FKH, mengenai hal-hal prinsip dalam lalu lintas ternak adalah sebagai berikut; bahwa tidak diperbolehkannya memasukkan ternak dari suatu daerah tertular penyakit ke daerah yang bebas penyakit. Berdasarkan pengalaman, pada saat kita mengalami outbreak penyakit AI (flu burung), ternyata daerah-daerah (provinsi) yang bebas atau tidak terkena penyakit tersebut telah menolak masuknya komoditi ternak unggas dari wilayah yang tertular.
Berkaitan dengan kasus impor daging dari India, yang menurut Resolusi No. 16 pada sidang umum ke-84 majelis dunia OIE bulan Mei 2016 bahwa India belum bebas PMK baik berdasarkan negara maupun zona dalam suatu negara, namun pemerintah tetap melakukannya, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah dokter hewan sebagai otoritas veteriner?
Dari diskusi tersebut, sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa jika kita mengambil kebijakan mengenai penyakit hewan, maka seharusnya yang memutuskan bukannya seorang Dirjen, Menteri bahkan Presiden sekalipun. Jadi yang harus memutuskannya adalah “otoritas veteriner” yang dalam hal ini adalah seorang profesional dokter hewan yang ditunjuk. Karena berbicara penyakit bukan lagi permainan politik atau bisnis yang dapat berubah-ubah, tapi lebih dari itu adalah soal hidup matinya masyarakat dan atau kehidupan bangsa atau umat manusia di masa mendatang.