Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mem-bully Insan Difabel Cukupkah Hanya Minta Maaf?

18 Juli 2017   10:04 Diperbarui: 18 Juli 2017   15:43 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.millardk12.org

Akhir akhir ini kembali tindakan mem-bully muncul kembali ke permukaan.  Sebut saja tindakan mem-bully mahasiswa difabel di suatu perguruan tinggi dan  siswa di tempat umum.

Walaupun pem-bully mahasiswa difabel di  perguruan tinggi sudah minta maaf, pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah cukup dengan minta maaf saja dan segala sesuatunya sudah selesai?

Mem-bully  difabel apalagi dilakukan diperguruan tinggi bukanlah masalah yang kecil, namun sebaliknya harus dipandang sebagai femonena gunung es akibat gagalnya sistem pendidikan dan moral yang semestinya menghasilkan prilaku yang menghargai sesama makhluk Allah.

Tindakan yang dipertontonkan oleh pelaku kemungkinan besar bukanlah tindakan iseng semata, namun bisa jadi pelaku tidak menyadari ataupun tidak tau bahwa tindakan isengnya itu merupakan cerminan tindakan yang tidak patut dilakukan dan merendahkan kaum difabel.

Pendidikan formal sampai mencapai perguruan tinggi yang paling tidak sudah menghabiskan waktu 13 tahun itu tampaknya belum cukup membekali generasi penerus ini untuk menumbuhkan rasa empati, kemanusiaan dan norma umum.

Norma umum seperti menghargai orang tua, kaum difabel, cara berprilaku di lingkungan masyarakat dll memang bukanlah produk hukum, namun merupakan  kesepakatan tidak tertulis terkait  dengan kewajaran prilaku manusia di lingkungan tertentu.

Di negara negara maju kaum difabel memang mendapatkan hak dan perlakuan yang patut dari pemerintah dan masyarakat.  Lihat saja bagaimana ada perkir khusus untuk kaum lansia dan difabel yang ruangnya lebih luas dan lebih nyaman di hampir semua tempat. Demikian juga jalan dan akses masuk gedung umum yang memungkinkan kaum lansia dan difabel dapat mencapainya dengan mudah dan nyaman.

Perhatian pemerintah dan fasilitas yang disediakan serta norma yang berlaku di masyarakat membuat kaum difabel dalam kesehariannya bukanlah kelompok yang minta diistimewakan namun hanya memerlukan fasilitas khusus saja, sehingga  kaum difabel  dapat melakukan aktivitasnya dengan mandiri tanpa harus banyak tergantung pada orang lain.

Di negara maju norma memang ditanamkan sejak usia dini di pre school yang membuat secara perlahan namun pasti terjadi pembentukan karakter. Di Australia misalnya banyak orang tua siswa di primary school atau setara dengan Sekolah Dasar lebih khawatir jika anaknya tidak dapat antri dengan benar  jika dibandingkan kurang cakap dalam mata pelajaran matematika.

Mengapa para orang tua ini sedemikian khawatirnya? Pendidikan karakter bukanlah merupakan hal yang mudah, namun memerlukan proses panjang  dan waktu sampai siswa tersebut mencapai usia dewasa.

Oleh sebab itu, karena sejak usia dini sudah ditanamkan norma yang harus diikutinya, maka kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, menunggu bus di halte, antri dalam segala kesempatan, menghargai kaum lansia dan difabel dll  sudah merupakan kebiasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun