Di balik gedung-gedung megah berlapis kaca yang menjulang di ibu kota, tersimpan dunia lain yang jarang terlihat oleh publik. Dunia di mana pejabat duduk nyaman, menikmati fasilitas yang seakan tak terbatas, sementara rakyat hanya bisa menatap dari jauh, "menggigit jari" menelan kenyataan yang pahit.
Fenomena ini bukan sekadar cerita klise atau sindiran kosong. Dari tunjangan berlapis, perjalanan dinas mewah, hingga akses prioritas ke berbagai fasilitas publik, kenyamanan pejabat seringkali jauh dari jangkauan masyarakat biasa. Di satu sisi, seorang pejabat bisa mengatur rapat di hotel berbintang atau santap siang mewah dengan anggaran negara. Di sisi lain, rakyat menghadapi birokrasi yang rumit, pelayanan publik yang lambat, dan janji-janji yang tak kunjung terealisasi.
Jarak Sosial yang Terasa Nyata
Di sudut kota, seorang ibu rumah tangga menunggu berjam-jam untuk mengurus dokumen administrasi. Di desa terpencil, seorang petani menantikan subsidi yang dijanjikan, namun selalu tertunda. Seorang pelajar berjuang di sekolah yang fasilitasnya minim. Sementara itu, pejabat yang sama dapat menikmati mobil dinas, penginapan mewah, hingga perjalanan dinas ke luar negeri dengan segala kemudahan.
Media sosial menjadi cermin dari ketimpangan ini. Foto-foto pejabat tengah menikmati fasilitas mewah beredar luas, disertai komentar pedas warganet. "Nikmat banget ya hidup mereka, kami cuma bisa menonton," tulis seorang netizen. Sindiran ini mencerminkan jarak sosial yang semakin melebar, antara mereka yang berkuasa dan mereka yang diperintah.
Kenikmatan yang Tidak Selalu Produktif
Namun, kenyamanan yang dinikmati pejabat tidak selalu negatif. Dalam beberapa kasus, fasilitas yang memadai memungkinkan mereka bekerja lebih efisien, mengambil keputusan lebih cepat, dan melakukan perjalanan dinas untuk kepentingan rakyat. Idealnya, nikmatnya kekuasaan adalah alat untuk melayani, bukan untuk dinikmati sendiri.
Sayangnya, kenyataan sering berbeda. Banyak fasilitas pejabat digunakan untuk kepentingan pribadi, kegiatan yang kurang produktif, atau bahkan sekadar simbol status. Sementara rakyat menunggu, mereka hanya bisa mencatat ketimpangan ini, menyimpan frustrasi, dan berharap ada perubahan nyata.
Kisah Nyata dari Lapangan
Di salah satu kabupaten, seorang guru honorer bercerita tentang kondisi sekolah yang terbatas. "Kami kekurangan buku, alat tulis, bahkan kursi dan meja untuk siswa. Sementara pejabat kabupaten bisa menghadiri seminar di hotel mewah dan menerima tunjangan besar," ungkapnya.