Mohon tunggu...
Roy Hendroko
Roy Hendroko Mohon Tunggu... -

Roy adalah mania di bBH (jangan diartikan Bra Mania), atau dalam Bahasa Indonesia yang salah kaprah : BBN Mania, atau di-Inggris-kan : Biofuel Mania. Saat ini mencangkul di perusahaan swasta yang berbasis perkebunan dan industri kelapa sawit, sebagai Researcher Biofuel Plant Production. Roy pensiun dengan masa kerja 35 tahun dari sebuah BUMN yang mengelola 10 Pabrik Gula, 2 Pabrik Bioetanol, dan 2 Pabrik Kelapa Sawit. Aktif di Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia (APBI) skala UKM, Asosiasi Bioenergi Indonesia (ABI), Asosiasi Petani Jarak Pagar Indonesia (APJPI), Forum Biodiesel Indonesia (FBI), dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Tujuanku menulis adalah memberitakan bahwa minyak bumi sedang menuju titik nadir dan suatu hari BBM adalah akronim dari Bener Benar Malu. Masa depan Republik ini adalah pertanian energi karena pro poor, pro job, pro growth, dan pro planet. Postinganku berupaya menjadikan BBN (bahan bakar nabati) menjadi back bone di negara ini. Bukan seperti saat ini yang hanya Bener Bener Nekat atau hanya sekadar Bener Bener Narcist dan akhirnya pabrik Benar Bener Nyaris jadi rosokan besi tua karena hanyalah merugi. Apakah "mimpi", "utopia", atau "misi"-ku akan tercapai ? INSYA ALLAH dan semoga rekan Kompasianer mendukungku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Way Isem……. Saya Tidak Menduga

29 Mei 2009   21:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:06 1900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_60718" align="alignleft" width="240" caption="Desa Way Isem"][/caption]

Dalam postingan di Kompasiana tanggal 10 Mei 2009, “Harga CPO Naik, Bagaimana Program Biodiesel ?”, saya mengungkapkan kekhawatiran tentang penyediaan CPO di dalam negeri karena ulah para pengusaha “nakal” yang akan berupaya ekspor. Meski dibatasi dengan aturan DMO (Domestic Market Obligation) , atau bahkan PE (pungutan ekspor) pastilah para pengusaha lebih “kreatif” dari si pembuat aturan atau si penjaga/ penertib aturan di Indonesia. Tampaknya Kompas membenarkan pendapat saya karena di tanggal 14 Mei 2009, di kolom Bisnis dan Keuangan, termuat “Kelapa Sawit, Jalan Licin Stabilisasi Harga Minyak Goreng”.

Dalam postingan tersebut, saya mengeluh tentang Jarak Pagar yang saat ini jadi “anak paling tiri” di Republik ini, dibanding Kelapa Sawit. Uneg-uneg ini saya luapkan pula di postingan tanggal 25 Mei 2009 di tulisan “Demam Bioetanol (jilid ke-2)”. Namun Allah memang bijak. Pasti dengan tujuan agar saya tidak ngomel dan ngedumel berkepanjangan tentang Jarak Pagar di Kompasiana dengan dampak pembaca bosan maka dua teman mengajak saya ke desa Way Isem, di Lampung Utara. Pak David dan Pak Untung mengajak saya melihat sebuah desa yang bertanam Jarak Pagar pada medio Mei 2009.

Way Isem adalah sebuah desa di Kecamatan Sungkai Barat, Kabupaten Lampung Utara. Jaraknya dari Kotabumi, ibu kota Kabupaten Lampung Utara, lebih kurang 45 km.Sebuah desa yang apik, asri, cukup makmur dengan infra struktur yang cukup baik. Desa ini berbasis pertanianlada, jagung, singkong, dan karet serta tampak pula dikit-dikit tanaman kelapa sawit dan juga tebu di desa tetangga.

Desa ini belum memiliki jaringan listrik dari PLN, namun sejumlah besar rumah memiliki panel surya untuk pembangkit penerangan lampu di malam hari.

Mohon pembaca memperhatikanfoto kanan, tampak sebuah benda berwarna biru yang ditutup ex baliho caleg. Itu lho, tampak dikit di ujung kanan. Apakah benda itu ? Ternyata sebuah kantong penyimpan gas-bio yang dihasilkan dari bungkil tanaman Jarak Pagar. Bungkil adalah sisa dari perasan biji jarak pagar, setelah di ambil minyaknya.

Hebat kan, ternyata desa ini menggunakan energi terbarukan (renewable energy)! Lampu dihidupkan dengan panel surya,sedang kompor di dapur dinyalakan oleh gas bio dari limbah pengolahan biji jarak pagar.

Kok ngomong “biru” melulu, lagi demam warna biru ya? Maklum akan pilpres! By the way, bagaimana dan dimanaJarak Pagar ditanam? Bukankah selama ini dikhawatirkan Jarak Pagar akan “meng-kanibal” tanaman pangan seperti kata Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito : “Jarak Mranjak,Tunggak Jati Mati” . Ternyata Way Isem menanam tanaman jarak sebagai pagar (dan tumpang sari). Mari, kita lihat foto selanjutnya.

Masyarakat Way Isem secara periodik memanen dan menyetorkan biji tanaman jarak ke koperasi. Memperoleh uang ”hasil penjualan” biji, dan mengambil bungkil untuk mengisi bio-digester. Kebutuhan bungkil untuk bio-digester per kepala keluarga, lebih kurang dua kilogram per hari. Disamping memperoleh gas-bio,masyarakat masih dapat bonus yakni pupuk organik dari sludge bio-digester. Sedang minyak jarak dikelola koperasi untuk biaya operasional UPMJ (unit pemerah minyak jarak), dan lain-lain kegiatan desa.

Salut Pak Untung dan Pak David atas binaan Anda, saya tidak menduga kalau masih ada yang ”cinta” kepada jarak pagar. Namun apabila boleh memberikan saran, seyogianya Way Isem memanfaatkan pula biogasuntuk menghidupkan lampu petromax. Kasihan masyarakat yang tidak mampu membeli panel surya atau udah jenuh menunggu jatah pembagianpanel tersebut dari pemerintah. Dengan bio-petromax ini, maka Way Isem akan terang benderang gemerlap di malam hari dan mandiri dari mintan (yang secara pelan tapi pasti ditarik peredarannya oleh pemerintah).

Demikian pula, apa tidak sebaiknya minyak jarak diolah jadi komoditas lain ? Menjual minyak jarak dengan jumlah ”volume kecil” ke suatu industri bak menunggu godot. Apakah tidak dibuat misal sabun? Sebuah perusahaan pembina tanaman jarak, saat ini tiap Jumat di ”pasar kaget” Departemen Pertanian RI mampu menjual sabun jarak pagar dengan omset lebih kurang Rp 5 juta. Banyak yang butuh untuk penghalus kulit,penghilang jerawat, dan gatal-gatal. Yang lain, saran saya untuk menggunakan kelebihan bungkil sebagai pakan ternak. Ngak usah khawatir dengan ”racun jarak pagar”, sebuah Pemda di Sumatera telah berhasil mengatasi phorbol ester ”si racun jarak” dengan biaya ”murah” pada binaanya di sebuah UPMJ yang dibiayai dana Gapoktan (tampaknya per-jarak-an Indonesia tidak kalah karena mempunyai teknologi detoksifikasi dibandingQuintna Roo State, Mexico yang memiliki Jarak non toksik).

Yuk, kita lihat foto putri Bu Lurah yang sedang masak dengan ”api biru”, bebas polusi namun juga murah (kata mbaknya, sekarang enak tidak berasap dan juga bila malam hari akan merebus kopi atau mie, tinggal klek....api hidup. Padahal sebelumnya ”penuh perjuangan” untuk membakar seikat kayu. Juga tidak lagi menggosok ”pantat” panci dari si hitam jelaga) .

Terima kasih Mbak dan juga Bu Lurah yang selama dua hari telah menyajikan kulupan dedaunan singkong,papaya, bayam –konon dipupuk sludge biodigester-dan juga sayur tempe dan tahu, serta ayam dan ikan bakar –semoga di kunjungan yang akan datang, ayam dan ikan ini telah diberi pakan bungkil jarak-. Terima kasih pada Pak Lurah, teruslah majukan Jarak Pagar ! Juga pada Pak Untung dan Pak David, terima kasih atas pencerahannya dan janganlah Way Isem ”ditinggal” ! Desa ini masih ”bayi” dalam renewable energy, apabila tidak dibina.....ya, kita udah lihat contoh yang terjadi di desa-desa yang lain -konon mencapai seribu desa yang disebut DME (Desa Mandiri Energi) di tahun 2008- Hanya gebyar di saat peresmian, setelah itu pudar,dan hanya jadi catatan sejarah.

Sebagai penghargaan untuk Pak David, kita lihat di bawah ini foto kebun demo jarak pagar di Way Isem. Amat beautiful..... padahal baru berumur 4 bulan dan juga pemeliharaan ala petani. Tengok pula, penulis yang mejeng bersama beliau, si white hair.

Akhir kata, tidak saya duga di Way Isem ternyata si Jarak Pagar telah “bangkit”!

SALAM ENERGI  HIJAU

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun